ARTIKEL PILIHAN

GOOGLE TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

ARTIKEL PILIHAN

Sejarah Timbulnya Politik Hukum

Written By Situs Baginda Ery (New) on Rabu, 27 Maret 2013 | 18.38

http://vietnameseworkersabroad.files.wordpress.com/2009/05/lady-justice.jpg
Latar belakang yang menjadi raison d’etre kehadiran disiplin politik hukum adalah rasa ketidakpuasan para teoritisi hukum terhadap model pendekatan hukum. Sejak era Yunani Kuno hingga Post Modern, studi hukum mengalami pasang surut, perkembangan dan pergeseran yang disebabkan oleh terjadinya perubahan struktur sosial, industrialisasi, politik, ekonomi dan pertumbuhan piranti lunak ilmu pengetahuan. Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Pemikiran Tentang Ancaman Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional menjelaskan bahwa pada abad ke-19 di Eropa dan Amerika, individu merupakan pusat pengaturan hukum, sedang bidang hukum yang sangat berkembang adalah hukum perdata. Keahlian hukum dikaitkan pada soal keterampilan teknis atau keahlian tukang (legal craftsmanship). Hukum kala itu dianggap independen dan tidak membutuhkan bantuan dari ilmu lain.
Politik Hukum Indonesia
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Donald H, Gjerdingen, beliau mengemukakan terjadinya pergeseran pemahaman teoritisi terhadap relasi antara hukum dan entitas bukan hukum. Beberapa aliran hukum menurutnya menganggap hukum otonom dari entitas bukan hukum sudah merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan realitas hukum. Politik hukum muncul sebagai suatu disiplin hukum alternatif di tengah kebuntuan metodologis dalam memahami kompleksitas hubungan antara hukum dan entitas bukan hukum terutama dalam kaitan studi ini adalah politik. Istilah dan kajian politik hukum baik dari sisi teoritis dan praktis telah dikenal cukup lama di Indonesia. Namun perkembangannya berjalan sangat lambat.
Pengertian Politik Hukum
1. Perspektif Etimologis
Secara etimogis istilah politik hukum merupakan terjemahan dari rechtspolitiek yang terdiri atas dua kata yakni recht dan politiek. Kant menyatakan law , in generic sense, is a body of rules of action or conduct prescribed by controlling authority and having binding legal force. Kata politiek mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (policy). Istilah rechtspolitiek sering dirancukan dengan politieekrecht yang berarti hukum politik. Menurut Hence van Maarseveen istilah politieekrecht merujuk pada istilah hukum tata negara. Politik hukum secara singkat berarti kebijakan hukum, selanjutnya dikatakan politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang hukum. Secara etimologis politik hukum secara singkat berarti kebijaksanaan hukum.
2. Perspektif Terminologis
Pendefinisian secara etimologis ternyata belum memberikan gambaran yang komprehensif mengenai politik hukum. Oleh sebab itu diperlukan pendefinisian dari beberapa ahli seperti:
  • Padmo Wahjono, politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk.
  • Teuku Mohammad Radjie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
  • Soedarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendak, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dalam buku lain Soedarto juga mendefinisikan politik hukum sebagai usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.
  • Satjipto Rahardjo, Satjipto mengutip pendapat parson dan kemudian mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
  • Sunaryati Hartono, Sunaryati Hartono tidak mendefinisikan politik hukum secara eksplisif, beliau mengatakan politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Sunaryati Hartono menitikberatkan politik hukum dalam dimensi ius contituendum.
  • Abdul Hakim Garuda Nusantara mengemukakan politik hukum nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Definisi yang disampaikan Abdul Hakim Garuda Nusantara merupakan definisi yang paling komprehensif yang merinci mengenai wilayah kerja politik hukum yang meliputi teritorial berlakunya politik hukum dan proses pembaruan dan pembuatan hukum yang mengarah pada sifat kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi ius constituendum. Selanjutnya ditegaskan pula mengenai fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum, suatu hal yang tidak disinggung oleh para ahli sebelumnya.
POLITIK HUKUM bersifat lokal dan partikular yang hanya berlaku dari dan untuk negara tertentu saja. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang kesejarahan, pendangan dunia (world-view), sosio-kultural dan political will dari masing-masing pemerintah. Meskipun begitu, politik hukum suatu negara tetap memperhatikan realitas dan politik hukum internasional. Perbedaan politik hukum suatu negara tertentu dengan negara lain inilah yang menimbulkan istilah politik hukum nasional.
Politik Hukum dan Perspektif Keilmuan
Politik Hukum dan Disiplin Hukum
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto meletakkan politik hukum sebagai bagian dari studi hukum. Disiplin politik hukum menurut mereka merupakan gabungan dari Ilmu Hukum dan filsafat hukum. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan yang ada selama ini bahwa politik hukum merupakan gabungan dari ilmu hukum dan ilmu politik. Apabila dihubungkan dengan praktik policy making dan policy executing di bidang hukum, politik hukum sebagai teori mengungkapkan policy evaluation dan policy approximation serta policy recommendation di bidang hukum. Dengan demikian politik hukum merupakan sistem ajaran tentang hukum sebagai kenyataan idiil dan riil.
Politik Hukum Sebagai Kajian Hukum Tata Negara. Lembaga-lembaga pemerintahan maupun tujuan negara yang dicita-citakan merupakan bagian dari studi hukum tata negara. Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan politik hukum kini menjadi kajian disiplin ilmu tersebut. Menurut H.D. van Wijk sebagaimana dikutip Sri Soemantri, “bila dikaitkan dengan sebuah sistem hukum, hukum tata negara merupakan pondasi, dasar atau muara berlakunya cabang dan ranting hukum yang lain.”
Van Wijk dan le Roy sama-sama menempatkan hukum tata negara sebagai hukum sentral bagi pelaksanaan hukum kenegaraan. Namun pembagian tersebut baru berbicara tentang produk-produk hukum yang menjadi bagian hukum tata negara bukan proses hukum dan politik pembentukan produk-produk hukum. Pada bagian inilah sebenarnya studi politik hukum menjadi sangat penting untuk dicermati karena berkaitan dengan cara bekerjanya badan-badan negara yang berwenang menetapkan politik hukum sebuah negara.
Ruang Lingkup dan Manfaat Ilmu Politik Hukum
Ruang lingkup atau wilayah kajian (domain) disiplin politik hukum meliputi aspek lembaga kenegaraan pembuat politik hukum, letak politik hukum dan faktor (internal dan eksternal) yang mempengaruhi pembentukan politik hukum suatu negara. Politik hukum menganut prinsip double movement yaitu selain sebagai kerangka pikir merumuskan kebijakan dalam bidang hukum (legal policy) oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang ia juga dipakai untuk mengkritisi produk-produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy tersebut. Secara rinci ruang lingkup politik hukum adalah:
a. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggarakan negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
b. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
c. Penyelenggaraan negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan politik hukum.
d. Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum.
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum baik yang akan, sedang dan telah ditetapkan.
f. Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara.
Dalam hal ini, Politik Hukum Indonesia secara umum bermanfaat untuk mengetahui bagaimana proses-proses yang tercakup dalam enam wilayah kajian yang bersifat integral itu dapat menghasilkan sebuah legal policy yang sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Black, Henry Campbell, 1991, Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul, Minnesota.
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Miriam Budiadjo, 1996, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet. 17, Gramedia, Jakarta.
Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum Cet. II, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Purbacaraka, 1995, Penggarapan Disiplin Hukum dan Filsafat Hukum Bagi Pendidikan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soedarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Hukum Pidana, Sinar baru, Bandung.
___________, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Jurnal Prisma Nomor 6 Tahun II Desember 1973.
sumber: http://irnarahmawati.wordpress.com/2013/01/06/sejarah-timbulnya-politik-hukum/
18.38 | 0 komentar | Read More

Harta Kekayaan Dalam Perkawinan dan Perceraian

http://keuanganlsm.com/wp-content/uploads/2011/03/PPN-Dasar-Hukum-dan-Karakteristiknya.jpg
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menjadi jelas, bahwa menurut pandangan manapun, baik hukum maupun sosial, baik etika maupun moral, Perkawinan merupakan suatu hubungan yang sakral dan kekal. Di dalamnya tak boleh dikehendaki suatu keadaan yang setengah-setengah, dalam arti harus dengan komitmen seumur hidup. Namun dalam hal kondisi tertentu, hukum dan agama masih memungkinkan dilakukannya perceraian.
Salah satu faktor yang penting dalam perkawinan adalah harta kekayaan. Faktor ini dapat dikatakan yang dapat menggerakan suatu kehidupan perkawinan. Dalam perkawinan, memang selayaknyalah suami yang memberikan nafkah bagi kehidupan rumah tangga, dalam arti harta kekayaan dalam perkawinan ditentukan oleh kondisi dan tanggung jawab suami. Namun di zaman modern ini, dimana wanita telah hampir sama berkesempatannya dalam pergaulan sosial, wanita juga sering berperan dalam kehidupan ekonomi rumah tangga. Hal ini tentunya membawa pengaruh bagi harta kekayaan suatu perkawinan, baik selama perkawinan berlangsung maupun jika terjadi perceraian.
Harta Kekayaan
Harta Perkawinan
UU Perkawinan telah membedakan harta perkawinan atas “harta bersama”, “harta bawaan” dan dan “harta perolehan” (Pasal 35), hukum indonesia.
Harta Bawaan
Harta bawaan adalah harta yang dibawa masing-masing suami atau istri sebelum terjadinya perkawinan. Misalnya, seorang wanita yang pada saat akan melangsungkan perkawinan telah bekerja di sebuah perusahaan selama empat tahun dan dari hasil kerjanya itu ia mampu membeli mobil. Maka ketika terjadi perkawinan, mobil tersebut merupakan harta bawaan istri. Menurut UU Perkawinan harta bawaan tersebut berada di bawah penguasaan masing-masing suami dan istri. Masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bawaannya tersebut. Namun meski demikian, UU Perkawinan juga memberikan kesempatan kepada suami istri untuk menentukan lain, yaitu melepaskan hak atas harta bawaan tersebut dari penguasaannya masing-masing (misalnya: dimasukan ke dalam harta bersama). Pengecualian ini tentunya harus dengan perjanjian – Perjanjian Perkawinan.
Harta Bersama
Harta bersama berarti harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, baik oleh suami maupun istri. Harta bersama misalnya gaji masing-masing suami dan istri, atau pendapatan mereka dari usaha-usaha tertentu, atau mungkin juga deviden dari saham yang ditanam di sebuah perusahaan oleh salah satu pihak. Harta bersama tersebut berada di dalam kekauasaan suami dan istri secara bersama-sama, sehingga penggunaannya harus dilakukan dengan persetujuan kedua pihak.
Harta Perolehan
Harta perolehan adalah harta yang diperoleh suami atau istri selama masa perkawinan yang berupa hadiah atau hibah atau waris. Seperti halnya harta bawaan, masing-masing suami dan istri juga memiliki kekuasaan pribadi atas harta perolehan tersebut. Masing-masing suami dan istri memiliki hak sepenuhnya terhadap harta yang diperolehnya dari hadiah, warisan, maupun hibah. Pengecualian keadaan ini dapat diadakan oleh suami istri dengan persetujuan masing-masing – Perjanjian Perkawinan.
Perjanjian Perkawinan
Ilmu Hukum, Perjanjian Perkawinan merupakan perjanjian diantara calon suami dan calon istri mengenai harta perkawinan. Isi Perjanjian Perkawinan terbatas hanya untuk mengatur harta kekayaan dalam perkawinan dan tidak dapat mengatur hal-hal lain yang berada di luar harta perkawinan – misalnya tentang kekuasaan orang tua terhadap anak. Perjanjian Perkawinan tentang hal-hal diluar harta perkawinan adalah tidak sah.
Perjanijan Perkawinan hanya dapat dibuat “pada waktu” atau “sebelum” perkawinan berlangsung. Perjanjian Perkawinan yang dibuat “setelah” dilangsungkannya perkawinan menjadi tidak sah dengan sendirinya – batal demi hukum. Syarat lain Perjanjian Perkawinan adalah harus dibuat “dalam bentuk tertulis”. Perjanjian dalam bentuk tertulis ini harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Dengan dilaksanakannya pencatatan tersebut maka isi Perjanjian Perkawinan baru dapat mengikat pihak ketiga yang lain yang bersangkutan dengan apa yang diperjanjikan.
Suatu Perjanjian Perkawinan baru berlaku sejak dilangsungkannya perkawinan. Perjanjian tersebut tidak mengikat para pihak sebelum dilangsungkannya perkawinan, demikian juga perjanjian tersebut tidak lagi mengikat setelah terjadinya perceraian. Selama dalam masa perkawinan, Perjanjian Perkawinan tidak dapat dirubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak. Selain adanya persetujuan kedua belah pihak, persetujuan tersebut juga tidak boleh merugikan pihak ketiga yang berkepentingan.
Akibat Perceraian Terhadap Perkawinan
Pustunya suatu perkawinan dapat terjadi baik karena “kematian”, “putusan pengadilan” maupun karena “perceraian” (pasal 38 UU Perkawinan). Dengan terjadinya kematian salah satu pihak suami atau istri, maka otomatis perkawinan mereka menjadi putus. Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dapat terjadi misalnya karena ada tuntutan ke pengadilan dari pihak ketiga yang menghendaki putusnya perkawinan tersebut, yaitu misalnya pihak keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang pasangan suami istri, atau suami/istri yang masih terikat dengan suatu perkawinan.
Putusnya perkawinan karena “perceraian” dapat terjadi karena salah satu pihak mengajukannya ke pengadilan. Jika suami yang mengajukan perceraian maka pengajuan itu disebut “Permohonan Thalak”, sedangkan jika istri yang mengajukan maka pengajuannya disebut “Gugatan Cerai”. Menurut pasal 39 UU Perkawinan, percerian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Perceraian itu diajukan dengan alasan-alasan yang cukup, yaitu bahwa suami-istri yang bersangkutan tidak dapat lagi hidup rukun. Sebelum pengadilan menyidangkan runtutan percerian, maka hakim wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
Sebuah perceraian tentu saja menimbulkan akibat terhadap harta kekayaan dalam perkawinan, baik terhadap harta bawaan, harta bersama, maupun harta perolehan berdasarkan hukumnya masing-masing. Bagi orang yang beragama Islam, pengaturan tersebut dilakukan berdasarkan hukum Islam yang telah diakomodir dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Secara umum, apabila tidak diadakan Perjanjian Perkawinan terhadap harta perkawinan, maka sebuah perceraian akan mengakibatkan:
1. Terhadap Harta Bersama
Harta bersama dibagi dua sama rata diantara suami dan istri (gono-gini).
2. Terhadap Harta Bawaan
Harta bawaan menjadi hak masing-masing istri dan suami yang membawanya – kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
3. Terhadap Harta Perolehan
Harta perolehan menjadi hak masing-masing istri dan suami yang memperolehnya – kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
sumber: http://irnarahmawati.wordpress.com/2013/01/06/harta-kekayaan-dalam-perkawinan-dan-perceraian/
18.31 | 0 komentar | Read More

Logika Sebuah Hukum

Pengantar Logika Hukum
Pengertian hukum dan Logika
logika matematikaDalam terminologi hukum atau bahasa hukum dikenal tiga bahasa yang lazim digunakan yakni law of reasoning (hukum penalaran), legal reasoning (penalaran hukum), dan law and logic (hukum dan logika.
Defenisi hukum yang lengkap dapat mengakomodasi semua aliran dalam hukum penalaran adalah defenisi hukum yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Kusumaatmadja Hukum adalah seperangkat aturan, kaidah-kaidah, asas-asas dan institusi-instutsi serta proses yang mengikat daya keberlakuannya. Sementara logika berasal dari kata logos yng berarti kata, pertimbangan akal, dan percakapan. Atau dengan bahasa yag sederhana logika_logos diartikan suatu pertimbangan perkataan berdasarkan akal yang sehat atau sesuai dengan standar yang normal.
Contoh penggunaan logika hukum: dalam Pasal 362 KUHP menegaskan barang siapa mengambil barang baik sebagian maupun secara keseluruhan secara melawan hukum dengan maksud untuk memiliki diancam dengan pida penjara selama lima tahun atau pidana denda sebanyak sembilan ratus rupiah.
Unsur dari pasal tersebut:
1. Barang siapa yang dartikan setiap orang.
2. Mengambil barang.
3. Secara melawan hukum.
4. Maksud untuk memiliki.
Jika saja pasal di atas diterapkan pada pencurian barang seperti kendaraan bermotor. Misalnya si A membawa motor si B tanpa sepengatahuan si B, dan kemudian dalam beberapa jam kemudian Motor itu dikembalikan ditempatnya, dan baru si B mengetahuinya. Dengan menerapakan ketentuan Pasal 362 berarti salah satu unsurnya tidak terpenuhi yakni si A tidak memenuhi unsur perbuataannya “dengan maksud memilki Itu”. Maka bukan dalam kategori pencurian.
Namun sebenarnya kalau ditinjau lebih jauh, dari pemakaian kendaraan bermotor tersebut oleh si A, ada barang yang hilang yakni bensin kendaraan bermotor. Berarti pencurian yang terjadi adalah pencurian bensin.
Dengan demikian logika hukum berfungsi untuk menalar hukum, menalar ketentuan pasal-pasal terhadap peristiwa hukum (seperti peristiwa pidana) sehingga penalaran tersebut sesuai dengan alur berpikir sistematis, metodik untuk menghasilkan preposisi hukum yang benar serta imperatif.
sumber: http://irnarahmawati.wordpress.com/2013/01/06/logika-hukum/
18.20 | 0 komentar | Read More

Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern

http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/01/13260043901128413196.pngHukum dalam lingkup ilmu pengetahuan telah menjadi perdebatan di kalangan para sarjana hukum, hal tersebut telah membawa para sarjana hukum membagi ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu sosial. Sebagai langkah awal dari usaha menjawab pertanyaan tentang apa itu hukum?, Maka kita harus benahi dulu pengertian ilmu hukum. Dalam bahasa Inggris ilmu hukum dikenal dengan kata “legal science” hal ini sangat keliru jika diartikan secara etimologis, legal dalam bahasa Inggris berakar dari kata lex (latin) dapat diartikan sebagai undang-undang. Law dalam bahasa inggris terdapat dua pengertian yang berbeda, yang pertama merupakan sekumpulan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam mencapai keadilan dan yang kedua, merupakan aturan perilaku yang ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat[1].
Pengertian pertama dalam bahasa Latin disebut ius, dalam bahasa Perancis droit, dalam bahasa Belanda recht, dalam bahasa Jerman juga disebut Recht, sedangan dalam bahasa Indonesia disebut Hukum. Sedangkan dalam arti yang kedua dalam bahasa Latin di sebut Lex, bahasa Perancis loi, bahasa Belanda wet, bahasa Jerman Gesetz, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut Undang-Undang[2]. Kata law di dalam bahasa Inggris ternyata berasal dari kata lagu, yaitu aturan-aturan yang dibuat oleh para raja-raja Anglo-Saxon yang telah dikodifikasi[3]. Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah legal science akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan terjadi ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri.
Demi menghindari hal semacam itu dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat disebut sebagai Jurisprudence. Sedangkan kata Jurisprudence berasal dari dua kata Latin, yaitu iusris yang berarti hukum dan prudentia yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Dengan demikian, Jurisprudence berarti pengetahuan hukum.
Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern
Dapat dilihat dari segi etimologis tidak berlebihan oleh Robert L Hayman memberi pengertian ilmu hukum dalam hal ini Jurisprudence secara luas sebagai segala sesuatu yang bersifat teoritis tentang hukum[4]. Disini dapat dilihat bahwa ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang berdiri sendiri yang kemudian dapat berintegral dengan ilmu-ilmu lain sebagai suatu terapan dalam ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri maka obyek penelitian dari ilmu hukum adalah hukum itu sendiri, mengingat kajian hukum bukan sebagai suatu kajian yang empiris, maka oleh Gijssels dan van Hoecke mengatakan ilmu hukum (jurisprudence) adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban.[5]
Jurisprudence merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat sui generis[6]. Maka kajian tersebut tidak termasuk dalam bidang kajian yang bersifat empirik maupun evaluatif. Jurisprudence bukanlah semata-mata studi tentang hukum, melainkan lebih dari itu yaitu studi tentang sesuatu mengenai hukum secara luas. Hari Chand secara tepat membandingkan mahasiswa hukum dan mahasiswa kedokteran yang mempelajari bidang ilmunya masing-masing[7]. ia menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran yang akan mempelajari anatomi manusia harus mempelajari kepala, telingga, mata dan semua bagian tubuh dan struktur, hubungan dan fungsinya masing-masing. sama halnya dengan seorang mahasiswa hukum yang akan mempelajari substansi hukum, harus belajar konsep hukum, kaidah-kaidah hukum, struktur dan fungsi dari hukum itu sendiri. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa disamping ia mempelajari tubuh manusia secara keseluruhan, seorang mahasiswa kedokteran juga perlu mempelajari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tubuh, misalnya panas, dingin, air, kuman-kuman, virus, serangga dan lain-lain. Sama halnya juga dengan mahasiswa hukum, yaitu mempelajari faktor-faktor dari luar yang mempengaruhi hukum itu diantaranya, faktor sosial, politik, budaya, ekonomi dan nilai-nilai yang terkandung dalam bidang ilmu lain.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menmpatkan hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.
Ilmu hukum modern mengawali langkahnya ditengah-tengah dominasi para pakar dibidang hukum yang mengkajinya sebagai suatu bentuk dari perkembangan masyarakat sehingga dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum terabaikan hal inilah yang menjadi obyek kajian penulis, karena sekarang banyak sarjana hukum menganggap kajian hukum berada pada tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law) bukan pada tatanan jurisprudensi, hal tersebut dikarenakan masuk kajian empirik kedalam ilmu hukum sebagai dasar kajian.
Perspektif Ilmu Hukum
Ilmu hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar perosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam Ilmu Hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga hukum. Suatu langkah awal dari substansi ilmu hukum ini adalah perbincangan mengenai makna hukum di dalam hidup bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejara sosial yang hanya dipandang dari luar; melainkan masuk kedalam hal yang lebih esinsial yaitu sisi intriksik dari hukum. Dalam setiap perbincangan yang demikian tentu saja akan menjawab pertanyaan mengapa dibutuhkan hukum sedangkan sudah ada norma-norma sosial yang lain. Apakah yang diinginkan dengan kehadiran hukum. Dalam perbincangan yang demikian, ilmu hukum akan menyoal apa yang tujuan hukum. Dalam hal demikian apa yang menjadi senyatanya ada berhadapan dengan apa yang seharusnya. Pada perbincangan akan dicari jawaban yang nantinya akan menjembantani antara dua realitas tersebut.
Persoalan berikutnya adalam merupakan suatu conditio sine qua non dalam hukum adalah masalah keadilan. Mengenai masalah tersebut perlu diingat pandangan Gustav Radbruch yang secara tepat menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada mencapai keadilan “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus”[7]. Persoalan keadilan bukan merupakan persoalan matematis klasik, melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban masyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensial keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dalam hidup bermasyarakat. Pandangan Hans Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum tidak dapat diterima karena hal itu menentang kodrat hukum itu sendiri. Dengan demikian memunculkan suatu pertanyaan mengenai mengelola keadilan tersebut. Maka disinilah mucullah preskriptif ilmu hukum.
Untuk memahami validitas aturan hukum, banyak masalah yang timbul dalam kehidupan manusia, karena manusia adalah merupakan anggota masyarakat dan sekaligus mahluk yang memiliki kepribadian. Sebagai anggota masyarakat perilakunya harus diatur. Dan apabila masyarakat meletakkan aturan-aturan itu yang ditekankan adalah ketertiban, maka dengan demikian maka akan menghambat pengembangan pribadi anggota-anggotanya. Sebaliknya, setiap orang cenderung meneguhkan kepentingan sambil kalau perlu melanggar hak-hak orang lain.
Untuk mempelajari konsep-konsep hukum berarti mempelajari hal-hal yang semula ada dalam alam pikiran yang dihadirkan menjadi sesuatu yang nyata. Konsep hukum, bentukkan hukum ataupun konstruksi hukum merupakan hal-hal yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya konsep hak milik, misalnya merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam hidup bermasyarakat. Konsep demikian tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan mengalami proses berpikir yang panjang. Dengan diketemukannya konsep-konsep semacam itu, mau tidak mau akan diikuti oleh aturan-aturan yang menyertainya.
Mempelajari norma-norma hukum merupakan esensial di dalam ilmu hukum. Belajar ilmu hukum tanpa mempelajari norma-norma hukum sama halnya dengan belajar ilmu kedokteran tanpa mempelajari tubuh manusia. Oleh karena itu ilmu hukum merupakan ilmu normatif, hal ini tidak dapat disangkal dan memang demikian kenyataannya. Dengan demikian tidak ada alasan bagi seorang sarjana hukum akan tetap menganggap ilmu hukum adalah merupakan ilmu yang normatif.
Sifat ilmu hukum sebagai ilmu terapan merupakan konsekuensi dari sifat preskriptifnya. Suatu penerapan yang salah akan berpengaruh terhadap sesuatu yang bersifat substansial. Suatu tujuan yang benar tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa yang hendak dicapai akan berakibat tidak ada artinya. Mengingat hal tersebut dalam menetapkan standar prosedur atau cara harus berpengang kepada sesuatu yang substansial. Dalam hal inilah ilmu hukum akan menelaah kemungkinan-kemungkinan dalam menetapkan standar tersebut.
Berdasarkan sifat keilmuan ilmu hukum dapat dibagi menjadi tiga lapisan, dalam bukunya Jan Gijssels dan Mark van Hoecke membagi ketiga lapisan tersebut adalah rechtsdogmatiek (Dogma Hukum), rechtsteorie (Teori Hukum) dan rechtsfilosie (Filsafat Hukum)[8]. Dalam hal kemurnian ilmu hukum sebagai suatu ilmu, dari ketiga pembagian tersebut dapat dilihat bahwa dua diantaranya (dogma hukum dan teori hukum) adalah merupakan ilmu hukum yang murni dan belum terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain sedangkan filsafat hukum telah terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain karena didalamnya akan mempelajari banyak hal yang bersilangan dengan ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu ilmu hukum mempunyai dua aspek, yaitu aspek praktis dan aspek teoritis.
Hukum Sebagai Ilmu Pengetahuan Modern
Dalam hal sekarang untuk menunjukkan paradigma tertentu yang mendominasi ilmu pada waktu tertentu. Sebelum adanya paradigma ini didahului dengan aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak terorganisir yang mengawali pembentukan suatu ilmu (pra-paradigmatik)
Bertolak dari gagasan Kuhn tentang paradigma dalam konteks perkembangan ilmu seperti tersebut di atas, maka berikut ini dipaparkan paradigma (ilmu) hukum, yang tampaknya juga berperan dalam perkembangan hukum. Bermula dari gagasan tentang hukum alam yang mendapatkan tantangan dari pandangan hukum yang kemudian (paradigma hukum alam rasional), ilmu hukum kemudian telah berkembang dalam bentuk revolusi sains yang khas.
Namun terdapat perbedaan dengan paradigma yang terdapat pada ilmu alam (eksak), dimana kehadiran paradigma baru cenderung akan menumbangkan paradigma lama. Dalam paradigma ilmu sosial (termasuk ilmu hukum) kehadiran suatu paradigma baru di hadapan paradigma lama tidak selalu menjadi sebab tumbangnya paradigma lama. Paradigma yang ada hanya saling bersaing, dan berimplikasi pada saling menguat, atau melemah.
Hukum alam memberikan dasar moral terhadap hukum, sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan dari hukum selama hukum diterapkan terhadap manusia. Potensi hukum alam ini mengakibatkan hukum alam senantiasa tampil memenuhi kebutuhan zaman manakala kehidupan hukum membutuhkan pertimbangan-pertimbangan moral dan etika. Implikasinya hukum alam menjelma dalam konstitusi dan hukum-hukum negara.
Paradigma Hukum Historis yang berpokok pangkal pada Volksgeist tidak identik bahwa jiwa bangsa tiap warganegara dari bangsa itu menghasilkn hukum. Merupakan sumber hukum adalah jiwa bangsa yang sama-sama hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu yang menghasilkan hukum positif. Hal itu menurut Savigny tidak terjadi dengan menggunakan akal secara sadar, akan tetapi tumbuh dan berkembang di dalam kesadaran bangsa yang tidak dapat dilihat dengan panca indera.
Oleh Bentham, teori itu secara analogis diterapkannya pada bidang hukum. Baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya dinilai buruk, jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian dan hanya memperbesar penderitaan.
Dengan demikian, paradigma utilitarianis merupakan paradigma yang meletakkan dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama pemikiran mereka adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum.Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.
Perbincangan tentang keadilan rasanya merupakan suatu kewajiban ketika berbicara tentang filsafat hukum, mengingat salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan ini merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.
Memahami pengertian keadilan memang tidak begitu sulit karena terdapat beberapa perumusan sederhana yang dapat menjawab tentang pengertian keadilan. Namun untuk memahami tentang makna keadilan tidaklah semudah membaca teks pengertian tentang keadilan yang diberikan oleh para pakar, karena ketika berbicara tentang makna berarti sudah bergerak dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai pada hakikat yang paling dalam.
Penganut paradigma Hukum Alam meyakini bahwa alam semesta diciptakan dg prinsip keadilan, sehingga dikenal antara lain Stoisisme norma hkm alam primer yang bersifat umum menyatakan: Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere)”. Cicero juga menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentuk an oleh pendapat manusia, tetapi oleh alam.
Paradigma Positivisme Hukum, keadilan dipandang sebagai tujuan hukum. Hanya saja disadari pula sepenuhnya tentang relativitas dari keadilan ini sering mengaburkan unsur lain yang juga penting, yakni unsur kepastian hukum. Adagium yang selalu didengungkan adalah Suum jus, summa injuria; summa lex, summa crux[9]. Secara harfiah ungkapan tersebut berarti bahwa hukum yang keras akan melukai, kecuali keadilan dapat menolongnya.
Dalam paradigma hukum Utiliranianisme, keadilan dilihat secara luas. Ukuran satu-satunya untuk mengukur sesauatu adil atau tidak adalah seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Adapun apa yang dianggap bermanfaat dan tidak bermanfaat, diukur dengan perspektif ekonomi.”.
Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum yang selama ini memandu kita dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.
sumber: http://irnarahmawati.wordpress.com/2013/01/06/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern/
18.19 | 0 komentar | Read More

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

http://elandaharviyata.files.wordpress.com/2012/11/index.jpeg
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang  :     a.     bahwa untuk mewujudkan upaya pembaharuan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia  antara lain perlu disusun hukum pidana nasional untuk menggantikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda;
                            b.     bahwa materi hukum pidana nasional tersebut harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia;
                            c.      bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
Mengingat    :        Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :        UNDANG-UNDANG TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.
BUKU KESATU
KETENTUAN  UMUM

BAB I

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KETENTUAN PERATURAN

 PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA
Bagian  Kesatu
Menurut Waktu
Pasal 1
(1)        Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2)        Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3)        Ketentuan  sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang‑undangan.
(4)        Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai  Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Pasal 2
 (1)   Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang‑undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perun­dang‑undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama berlaku apabila menguntungkan bagi pembuat.
(2)        Dalam hal setelah  putusan  pemidanaan  memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang  terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang‑undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan.
(3)        Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang‑undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas‑batas pidana menurut peraturan perundang‑undangan yang baru.
Bagian Kedua
Menurut Tempat
Paragraf 1
Asas Wilayah atau Teritorial
Pasal 3
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang‑undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang  yang melakukan:
a.            tindak pidana di wilayah Negara Republik Indonesia;
b.            tindak pidana dalam kapal atau pesawat udara  Indonesia; atau
c.             tindak pidana di bidang teknologi informasi yang akibatnya dirasakan atau terjadi di wilayah Indonesia dan dalam kapal atau pesawat udara Indonesia.
Paragraf 2
Asas Nasional Pasif

Pasal 4

Ketentuan pidana dalam peraturan perundang‑undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang di luar wilayah  Negara  Republik Indone­sia  yang melakukan tindak pidana terhadap :
a.            warga negara Indonesia; atau
b.            kepentingan negara Indonesia yang berhubungan dengan :
1.             keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan;
2.             martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden dan pejabat Indonesia di luar negeri;
3.             pemalsuan dan peniruan segel, cap negara, meterai, uang/mata uang, kartu kredit, perekonomian, perdagangan dan perbankan Indonesia;
4.             keselamatan/keamanan pelayaran dan penerbangan ;
5.             keselamatan/keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional (negara Indonesia);
6.             keselamatan/keamanan peralatan komunikasi elektronik;
7.             tindak pidana jabatan/korupsi; dan/atau
8.             tindak pidana pencucian uang.
Paragraf  3
Asas Universal

Pasal 5

Ketentuan pidana dalam peraturan perundang‑undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Republik Indone­sia melakukan tindak pidana menurut perjanjian atau hukum internasional yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Pasal  6

Ketentuan pidana dalam peraturan perundang‑undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang penuntutannya diambil alih oleh Indonesia dari negara asing atas dasar suatu perjanjian yang memberikan kewenangan kepada Indonesia untuk menuntut pidana.
Paragraf  4
Asas Nasional Aktif
Pasal 7
(1)             Ketentuan pidana dalam peraturan perundang‑undangan ­Indo­nesia berlaku  bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Republik Indonesia.
(2)             Ketentuan ayat (1) tidak berlaku untuk tindak pidana yang hanya diancam pidana denda Kategori I atau denda Kategori II.
(3)             Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan walaupun tersangka menjadi warga negara Indonesia setelah tindak pidana tersebut dilakukan.
(4)             Warga negara Indonesia yang di luar wilayah Negara Republik Indonesia melakukan tindak pidana sebagai­mana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dijatuhi pidana mati jika tindak pidana tersebut menurut hukum negara tempat tindak pidana tersebut dilakukan tidak diancam dengan pidana mati.
Paragraf 5
Pengecualian
Pasal 8
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7, penerapannya dibatasi oleh hal‑hal yang dikecualikan menurut hukum internasional.

Bagian Ketiga

Waktu Tindak Pidana
Pasal 9
Waktu tindak pidana adalah pada waktu pembuat melakukan perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Tempat Tindak Pidana
Pasal 10
Tempat  tindak pidana adalah:
a.         tempat pembuat melakukan perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan; atau
b.         tempat terjadinya akibat yang  dimaksud  dalam  peraturan perun­dang‑ undangan atau tempat yang menurut perkiraan pembuat akan terjadi akibat tersebut.
BAB II
TINDAK PIDANA
DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Bagian Kesatu
Tindak Pidana
Paragraf 1
Umum

Pasal  11

(1)        Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
(2)        Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.
(3)        Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.  
Pasal 12
Dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum.
Paragraf 3
Permufakatan Jahat

Pasal 13

(1)        Permufakatan jahat adalah kesepakatan 2 (dua) orang atau lebih untuk melakukan tindak pidana.
(2)        Permufakatan jahat melakukan tindak pidana dipidana, jika ditentukan secara tegas dalam undang‑ undang.
(2)        Pidana untuk permufakatan jahat melakukan tindak pidana adalah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana pokok untuk tindak pidana yang bersangkutan.
(3)        Permufakatan jahat melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
(4)        Pidana tambahan untuk permufakatan jahat melakukan tindak pidana sama dengan tindak pidana yang bersangkutan
Pasal 14
Permufakatan jahat  melakukan tindak pidana tidak dipidana, jika yang bersangkutan:
a.      menarik diri dari kesepakatan itu, atau
b.      mengambil langkah-langkah yang patut untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
Paragraf 2
Persiapan
Pasal 15
(1)      Persiapan melakukan tindak pidana terjadi apabila pembuat berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana, mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan atau melakukan tindakan-tindakan serupa yang dimaksudkan menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian tindak pidana, termasuk apabila pembuat dengan sengaja mendapatkan, membuat, menghasilkan, mengimpor, mengangkut, mengekspor, atau mempunyai dalam persediaan atau penyimpanan barang, uang atau alat pembayaran lainnya, alat penghantar informasi, tempat persembunyian atau transportasi yang dimaksudkan untuk melakukan tindak pidana.
(2)      Persiapan melakukan tindak pidana dipidana, jika ditentukan secara tegas dalam undang-undang.
(3)      Pidan a untuk persiapan melakukan tindak pidana adalah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok yang diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan.
(4)      Persiapan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(5)      Pidana tambahan untuk persiapan melakukan tindak pidana sama dengan tindak pidana yang bersangkutan.
 
Pasal 16
Persiapan melakukan tindak pidana tidak dipidana, jika yang bersangkutan menghentikan, meninggalkan, atau mencegah kemungkinan digunakan sarana tersebut.
Paragraf 4
Percobaan
Pasal 17
 (1)       Percobaan melakukan tindak pidana dipidana, jika pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau akibat yang dilarang.
(2)        Ada permulaan pelaksanaan, jika:
a)      pembuat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
b)      perbuatan itu langsung mendekati terjadinya tindak pidana;
c)      perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan untuk terjadinya tindak pidana.
          

Pasal 18

(1)        Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela, maka pembuat tidak dipidana.
(2)        Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana.
(3)        Dalam hal perbuatan  sebagaimana dimaksud  pada  ayat (2) telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang‑undangan  telah  merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.                        
Pasal   19
Percobaan melakukan tindak  pidana  yang hanya diancam dengan pidana denda  Kategori I,   tidak dipidana.
Pasal   20
Dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana tidak lebih dari 1/2 (satu per dua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang  dituju.
 Paragraf 5
Penyertaan
Pasal 21
Dipidana sebagai pembuat tindak pidana, setiap orang yang :
a.            melakukan sendiri tindak pidana;
b.            melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau orang lain yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan;
c.            turut serta melakukan; atau
d.         memberi atau menjanjikan sesuatu dengan  menyalah­gunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman, atau penye­satan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana.
Pasal 22
(1)        Dipidana sebagai pembantu tindak pidana, setiap orang  yang :
            a.         memberi bantuan pada  waktu  tindak pidana dilakukan; atau
b.         memberi  kesempatan,  sarana,  atau  keterangan untuk melakukan tindak pidana.
(2)        Ketentuan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ­berlaku untuk pembantuan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I.
Pasal 23
Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau membe­ratkan penjatuhan pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat atau pembantu tindak pidana yang bersangkutan.
Paragraf 6
Pengulangan
Pasal 24
Pengulangan tindak pidana terjadi, apabila orang melakukan tindak pidana lagi dalam waktu 5 (lima) tahun sejak :
a.      menjalani seluruh  atau  sebagian  pidana pokok  yang dijatuhkan;
b.     pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
c.      kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum daluwarsa.
Paragraf  7
Tindak Pidana Aduan
Pasal 25
(1)        Dalam hal-hal tertentu, tindak pidana hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan.
(2)        Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan secara tegas dalam undang-undang.
(3)        Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mensyaratkan adanya pengaduan secara mutlak, penuntutan dilaku­kan kepada semua peserta, walaupun tidak  disebutkan oleh pengadu.
Pasal 26
(1)        Dalam hal orang yang terkena tindak  pidana aduan belum berumur 16 (enam belas) tahun dan belum kawin atau berada di bawah pengampuan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah menurut hukum perdata.
(2)        Dalam hal wakil yang sah tidak ada, maka penuntutan dilakukan  atas  pengaduan  wali pengawas atau majelis yang menjadi wali pengawas atau pengampu pengawas, atau  atas dasar pengaduan istrinya atau keluarga sedarah dalam garis lurus.
(3)        Dalam hal wakil sebagaimana dimaksud dalam  ayat  (2) tidak ada, maka peng-aduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.
Pasal 27
(1)        Dalam hal yang terkena tindak pidana aduan meninggal dunia dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 maka pengaduan dapat dilakukan oleh orang tuanya, anaknya, suaminya, atau isterinya yang masih hidup.
(2)        Hak pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gugur, jika yang meninggal sebelumnya tidak menghendaki penuntutan.
Pasal 28
(1)        Pengaduan dilakukan dengan cara menyampaikan pemberitahuan dan permo­honan untuk dituntut.
(2)        Pengaduan  sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang.
Pasal 29
(1)        Pengaduan harus diajukan dalam tenggang waktu :
            a.         6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya tindak pidana, jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia; atau
             b.        9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya tindak pidana, jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia.
 (2)       Jika yang berhak  mengadu  lebih   dari  seorang,  maka tenggang wak­tu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak  masing‑masing  mengetahui adanya tindak pidana.
Pasal 30
(1)        Pengaduan dapat ditarik kembali dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengaduan diajukan.
(2)        Pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi.
Paragraf 8
Alasan Pembenar
Pasal 31
Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena melaksanakan peraturan perundang‑undangan.
Pasal 32
Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 33
Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena keadaan darurat.
Pasal 34
Tidak dipidana, setiap orang yang terpaksa melakukan tindak pidana karena pembelaan terhadap serangan seketika atau ancaman serangan segera yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, harta benda sendiri atau orang lain.
Pasal 35
Termasuk alasan pembenar ialah tidak adanya sifat melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
Bagian Kedua
Pertanggungjawaban Pidana
Paragraf 1
Umum
Pasal 36
Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
Paragraf 2
Kesalahan

 

Pasal 37

(1)        Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan.
(2)        Kesalahan terdiri dari kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf.
Pasal 38
(1)        Bagi tindak pidana tertentu, undang‑undang dapat menentukan bah­wa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhi­nya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.
(2)        Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain,
Paragraf 3
Kesengajaan dan Kealpaan
Pasal 39
(1)        Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan jika orang tersebut melakukan tindak pidana  dengan sengaja atau karena kealpaan.
(2)        Perbuatan  yang dapat dipidana adalah perbuatan yang ­di­lakukan deng­an sengaja, kecuali peraturan perundang‑undangan menentukan secara tegas bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dipidana.
 (3)       Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap akibat tindak pidana tertentu yang oleh undang-undang diperberat ancaman pidananya, jika ia sepatutnya mengetahui kemungkinan terjadinya akibat tersebut atau sekurang-kurangnya ada kealpaan.
Paragraf 4
Kemampuan Bertanggung Jawab
Pasal 40
Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental, tidak dapat diper­tanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan.
Pasal 41
Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental, pidananya dapat diku­rangi atau dikenakan tindakan.
Paragraf 5
Alasan Pemaaf
Pasal 42
(1)        Tidak dipidana, jika seseorang tidak menge­tahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan bahwa  perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya.
(2)        Jika seseorang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) patut dipersalahkan atau dipidana, maka maksimum pidananya dikurangi dan tidak melebihi 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana untuk  tindak pidana yang dilakukan.
Pasal 43
Tidak dipidana, seseorang yang melakukan tindak pidana karena :             
a.       dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan, atau              
b.         dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari.
Pasal 44
Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan pembelaan terpak­sa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan seketika atau ancaman serangan yang segera.
Pasal 45
Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengaki­batkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Pasal 46
Termasuk alasan pemaaf ialah :
a.          tidak ada kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
b.          pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; atau
c.           belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1).
Paragraf 6
Korporasi
Pasal 47
Korporasi merupakan subyek tindak pidana.

Pasal 48

Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Pasal 49
Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
Pasal 50
Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersang­kutan.
Pasal 51
Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepan­jang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.
Pasal 52
(1)        Dalam  mempertimbangkan suatu tuntutan  pidana, harus diper­timbang­kan apakah  bagian  hukum lain telah memberikan  perlindungan  yang  lebih  berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.
(2)        Pertimbangan  sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1) harus dinyata­kan dalam putusan hakim.
Pasal 53
Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.
BAB III
PEMIDANAAN, PIDANA, DAN TINDAKAN
Bagian Kesatu
Pemidanaan
Paragraf 1
Tujuan Pemidanaan
Pasal 54
(1)        Pemidanaan bertujuan:
          a.        mencegah dilakukannya  tindak  pidana  dengan menegak­kan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
          b.        memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
          c.        menyelesaikan  konflik  yang  ditimbulkan  oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan
          d.        membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2)        Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendah­kan martabat manusia.
Paragraf 2
Pedoman Pemidanaan
Pasal 55
 (1)       Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan :
            a.         kesalahan pembuat tindak pidana;
            b.         motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
            c.         sikap batin pembuat tindak pidana;
d.            apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e.             cara melakukan tindak pidana
f.              sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana
g.            riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;
h.            pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i.              pengaruh tindak pidana terhadap korban atau ­ke­luarga korban;
j.             Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya ;  dan/atau
k.           pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang ­dilakukan
(2)        Ringannya  perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau kea­daan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan  untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Pasal 56
Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan penghapus pida­na, jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan penghapus pidana tersebut.
Paragraf 3
Perubahan atau Penyesuaian Pidana
Pasal 57
(1)        Putusan pidana dan tindakan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan.
(2)        Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas permohonan narapidana, orang tua, wali atau penasihat hukumnya, atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau hakim pengawas.
(3)        Perubahan  atau  penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana.
(4)        Perubahan  atau  penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
            a.         pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan; atau
            b.         penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya.
(5)        Jika permohonan  perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh pengadilan, maka permohonan baru dapat diajukan lagi setelah 1 (satu) tahun sejak penolakan.
(6)        Jika terdapat keadaan khusus yang menunjukkan permohonan tersebut pantas untuk dipertimbangkan sebelum batas waktu 1 (satu) tahun, maka ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku.
Paragraf 4

Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Perumusan Alternatif

Pasal 58
(1)        Jika seseorang melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55 maka orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda.
(2)        Ketentuan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi orang yang pernah dijatuhi pidana penjara untuk tindak pidana yang dilakukan setelah berumur 18 (dela­pan belas) tahun.
(3)        Pidana denda yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam  ayat (1) adalah denda paling banyak menurut  Kategori V dan  denda paling sedikit menurut Kategori III.
(4)        Jika tujuan pemidanaan  tidak dapat dicapai hanya dengan penjatuhan pidana penjara, maka untuk tindak pidana terhadap harta benda  yang hanya diancam dengan pidana penjara dan mempunyai sifat merusak tatanan sosial dalam masyarakat, dapat dijatuhi pidana denda paling banyak Kategori V bersama‑sama dengan pidana penjara.
Pasal 59
 (1)       Jika  tindak  pidana hanya diancam dengan pidana denda maka dapat dijatuhkan pidana tambahan atau tindakan.
(2)        Terhadap orang yang telah berulang kali dijatuhi pidana denda untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda, dapat dijatuhi pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana pengawasan bersama-sama dengan pidana denda.

Pasal 60

(1)        Jika suatu  tindak  pidana  diancam dengan pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan.
(2)        Jika pidana penjara dan denda diancamkan secara alternatif, maka untuk tercapainya tujuan pemidanaan, kedua jenis pidana pokok tersebut dapat dijatuhkan secara kumulatif, dengan ketentuan tidak melampaui separuh batas maksimum kedua jenis pidana pokok yang diancamkan tersebut.
(3)        Jika  dalam menerapkan ketentuan ayat (2), dipertimbangkan untuk menjatuhkan pidana pengawasan berda­sar­kan ketentuan sebagaimana dimaksud   dalam    Pasal 77  dan   Pasal 78 ayat (1) dan  ayat (2), maka   tetap   dapat dijatuhkan pidana denda paling banyak separuh dari maksimum pidana denda yang diancamkan tersebut bersama‑sama dengan pidana  pengawasan.
Paragraf 5
Lain-lain Ketentuan Pemidanaan
Pasal 61
Pidana penjara dan pidana tutupan bagi terdakwa yang sudah berada dalam tahanan, mulai berlaku pada saat putusan telah memperoleh  kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi terdakwa yang tidak berada di dalam tahanan, pidana tersebut berlaku pada saat putusan mulai dilaksanakan.
Pasal 62
(1)        Dalam putusan ditetapkan bahwa masa penangkapan dan masa penahanan yang dijalani terdakwa sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, dikurangkan seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara untuk waktu tertentu atau dari pidana penjara pengganti denda atau dari pidana denda yang dijatuhkan.
(2)        Ketentuan sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat (1) berlaku juga bagi terpidana yang berada dalam tahanan untuk berbagai perbuatan dan dijatuhi pidana untuk perbuatan lain daripada yang menyebabkan terpidana berada dalam tahanan
Pasal  63
(1)        Jika narapidana yang berada dalam lembaga pemasyarakatan mengajukan permohonan grasi, maka waktu antara pengajuan permohonan grasi dan saat dikeluarkan Keputusan Presiden tidak menunda pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan.
(2)        Jika terpidana  berada  di  luar  lembaga pemasyarakatan mengajukan permohonan grasi, maka waktu antara mengajukan permohonan grasi dan saat dikeluarkan Keputusan  Presiden tentang grasi tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana. 
(3)        Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika Presiden menentukan lain.
Pasal 64
Jika narapidana melarikan diri, maka masa selama narapidana melarikan diri tidak diperhitungkan sebagai waktu menjalani pidana penjara.
Bagian Kedua
Pidana
Paragraf 1
Jenis Pidana
Pasal 65
(1)        Pidana pokok terdiri atas
a.            pidana penjara;
b.            pidana tutupan;
c.             pidana pengawasan;
d.            pidana denda; dan   
e.             pidana kerja sosial.
(2)        Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menen­tukan berat ringannya pidana.

 

Pasal 66

Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Pasal 67
(1)        Pidana tambahan terdiri atas :
            a.         pencabutan hak tertentu;
            b.         perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
            c.         pengumuman putusan hakim;
            d.         pembayaran ganti kerugian; dan
     e.         pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.
(2)        Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama  dengan pidana tambahan yang lain.
 (3)       Pidana  tambahan  berupa  pemenuhan  kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.
(4)        Pidana  tambahan  untuk  percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.
Pasal 68
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, Pasal 66, dan Pasal 67 diatur dengan undang‑undang tersendiri.
Paragraf 2
Pidana Penjara
Pasal 69
(1)        Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau ­un­tuk waktu tertentu.
(2)        Pidana  penjara  untuk  waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut‑turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum khusus.
(3)        Jika  dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 (lima belas) tahun, maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut‑turut.
(4)        Dalam hal bagaimanapun pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 70
(1)        Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang 10 (sepuluh) tahun pertama dengan berkelakuan baik, maka sisa  pidana tersebut dapat diubah menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(2)        Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan perubahan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 71
Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 54 dan Pasal 55, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan‑keadaan sebagai berikut:
a.     terdakwa  berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 70 (tujuh puluh) tahun;
b.     terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;
c.     kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar;
d.    terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;
e.     terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;
f.     tindak  pidana  terjadi  karena  hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
g.     korban  tindak  pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut;
h.    tindak  pidana  tersebut  merupakan akibat dari suatu ­ke­adaan yang tidak mungkin terulang lagi;
i.      kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;
j.      pidana  penjara  akan  menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;
k.     pembinaan  yang  bersifat  noninstitusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa;
l.      penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
m.   tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; atau
n.    terjadi karena kealpaan.
Pasal 72
(1)        Narapidana yang telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari pidana penjara  yang dijatuhkan, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik dapat diberikan pembebasan bersyarat sebagai Klien Pemasyarakatan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum.
(2)        Terpidana yang menjalani beberapa pidana penjara berturut‑turut, jumlah pidananya dianggap sebagai 1 (satu) pidana.
(3)        Dalam  memberikan  pembebasan  bersyarat  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan masa percobaan dan syarat‑syarat yang harus dipenuhi  selama masa percobaan.
(4)        Masa  percobaan  sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sama  dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan 1 (satu) tahun.
(5)        Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  yang ditahan se­ba­gai tersangka atau terdakwa dalam perkara lain, waktu tahan­annya tidak diperhitungkan sebagai masa percobaan.
(6)        Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 73 
(1)        Syarat‑syarat  yang  harus  dipenuhi  selama  masa perco­baan sebagai­mana dimaksud dalam Pasal 72  ayat (3) adalah:
            a.         Klien Pemasyarakatan  tidak akan melakukan tindak pidana; dan
b.         Klien Pemasyarakatan harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan berpolitik.
(2)        Syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir b dapat diubah, dihapus, atau diadakan syarat baru, yang semata‑mata bertujuan membina terpidana.
(3)        Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 74
(1)        Pembebasan  bersyarat  tidak  dapat  ditarik kembali setelah melam­paui 3 (tiga) bulan terhitung sejak saat habisnya masa percobaan.
(2)        Ketentuan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika sebelum waktu 3 (tiga) bulan, Klien Pemasyarakatan dituntut karena  melakukan tindak pidana dalam masa percobaan dan tuntutan berakhir karena putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3)        Jangka waktu antara saat mulai menjalani pembebasan bersyarat dan menjalani kembali pidana tidak dihitung sebagai menjalani pidana.
Pasal 75
(1)        Keputusan pembebasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum setelah mendapat pertimbangan dari Tim Pengamat Pemasyarakatan dan hakim pengawas.
(2)        Jika terjadi pelanggaran terhadap salah satu syarat, maka Balai Pemasyarakatan memberitahukan hal tersebut kepada hakim pengawas.
(3)        Pencabutan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  ditetapkan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum atas usul hakim pengawas.
(4)        Jika Klien Pemasyarakatan melanggar syarat‑syarat yang diberikan, maka hakim pengawas dapat mengusulkan kepada Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum agar pembebasan bersyarat dicabut.
(5)        Jika hakim pengawas mengusulkan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka hakim pengawas dapat memberi perintah kepada polisi agar Klien Pemasyarakatan ditahan dan hal tersebut diberitahukan kepada Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum.
(6)        Penahanan sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat (5) paling lama 60 (enam puluh) hari.
(7)        Jika  penahanan  sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusul dengan penghentian sementara waktu atau pencabutan pembebasan bersyarat, maka Klien Pemasyarakatan dianggap meneruskan menjalani pidana sejak saat ditahan.
(8)        Selama masa percobaan, pengawasan, dan pembinaan Klien Pemasyarakatan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Paragraf 3
Pidana Tutupan
Pasal 76
(1)        Orang  yang  melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara, mengingat keadaan pribadi dan perbuatan­nya dapat dijatuhi pidana tutupan.
(2)        Pidana  tutupan   sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat (1) dapat  dijatuhkan kepada terdakwa  yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.
(3)        Ketentuan  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku, jika cara melakukan atau akibat dari perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara.
Paragraf 4
Pidana Pengawasan
Pasal 77
Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan.
Pasal 78
(1)        Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa  mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya.
(2)        Pidana  pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
(3)        Dalam  penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat‑syarat:
            a.         terpidana tidak akan melakukan tindak pidana;
b.         terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/ atau
c.         terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
(4)        Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(5)        Jika  selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia  dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pengawasan yang belum dijalani.
(6)        Jika  selama  dalam  pengawasan   terpidana  menunjukkan   kelaku­an yang baik, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia  dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpendek masa pengawasannya.
(7)        Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setelah mendengar para pihak.
Pasal 79
(1)        Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana  yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, maka pidana pengawasan tetap dilaksanakan.
(2)        Jika terpidana  dijatuhi pidana penjara, maka pidana pengawasan ditunda dan dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.
Paragraf 5
Pidana Denda
Pasal 80
(1)        Pidana denda  merupakan pidana berupa  sejumlah uang yang  wajib  dibayar  oleh  terpidana berdasarkan putusan pengadilan.
(2)        Jika   tidak  ditentukan   minimum   khusus maka  pidana  denda  paling  sedikit  Rp 15.000,00 (lima belas ribu rupiah).
(3)        Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan  kategori, yaitu :
            a.         kategori I   Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah);
            b.         kategori II  Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);
c.         kategori III Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);
d.         kategori IV Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh juta lima ratus ribu rupiah);
e.         kategori V  Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); dan
f.          kategori VI Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4)        Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah kategori lebih tinggi berikutnya.
(5)        Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan :
a.         pidana penjara paling lama 7 (tujuh)  tahun  sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah denda Kategori V;
            b.         pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah denda Kategori VI.
(6)        Pidana  denda paling sedikit untuk korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah denda Kategori IV.
(7)        Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 81
(1)        Dalam penjatuhan pidana denda, wajib dipertimbangkan kemampuan terpidana.
(2)        Dalam menilai kemampuan terpidana, wajib diperhatikan apa yang dapat dibelanjakan oleh terpidana sehubungan dengan keadaan pribadi dan kemasyarakatannya.
(3)        Ketentuan   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi untuk tetap diterapkan minimum khusus pidana denda yang ditetapkan untuk tindak pidana tertentu.
Paragraf 6
Pelaksanaan Pidana Denda
Pasal 82
 (1)       Denda dapat dibayar dengan cara mencicil dalam tenggang waktu sesuai dengan putusan hakim.
(2)        Jika denda sebagaimana dimaksud dalam  ayat (1) tidak dibayar penuh dalam tenggang waktu yang ditetapkan, maka untuk denda yang tidak dibayar tersebut dapat diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana.
Paragraf 7
Pidana Pengganti Denda Kategori I
Pasal 83 
(1)        Jika pengambilan  kekayaan  atau  pendapatan sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal 82 ayat (2) tidak  memungkinkan, maka denda yang tidak dibayar tersebut diganti dengan pidana kerja sosial, pidana pengawasan, atau pidana penjara, dengan ketentuan denda tersebut tidak melebihi denda Kategori I.            
(2)        Lamanya pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     a.         untuk pidana kerja sosial pengganti, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal  86 ayat (3) dan ayat (4); 
     b.         untuk pidana pengawasan, paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun;    
    c.          untuk pidana penjara pengganti, paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun yang dapat diperberat paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan jika  ada pemberatan  pidana denda karena perbarengan atau karena adanya faktor pemberatan pidana sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 134 .
(3)        Perhitungan lamanya  pidana pengganti didasarkan pada ukuran, untuk tiap denda denda Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) atau kurang, disepadankan dengan:
a.              1 (satu) jam pidana kerja sosial pengganti;
b.              1 (satu) hari pidana pengawasan atau pidana penjara pengganti.
(4)        Jika setelah menjalani pidana pengganti, sebagian pidana denda dibayar, maka lamanya pidana pengganti dikurangi menurut ukuran yang sepadan sebagaimana ketentuan dalam ayat (3).
Paragraf 8
Pidana Pengganti Denda Melebihi Kategori I
Pasal 84
(1)           Jika pengambilan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) tidak dapat dilakukan, maka untuk denda di atas kategori I yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama sebagaimana yang diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan.
(2)           Ketentuan Pasal 83 ayat (4) berlaku untuk pasal ini sepanjang mengenai pidana penjara pengganti.
Paragraf 9
Pidana Pengganti Denda untuk Korporasi
Pasal 85
Jika pengambilan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) tidak dapat dilakukan maka untuk korporasi dikenakan pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.
Paragraf 10
Pidana Kerja Sosial
Pasal 86
(1)        Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari denda Kategori I, maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti  dengan pidana kerja sosial.
(2)        Dalam penjatuhan  pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1),  wajib dipertimbangkan hal‑hal sebagai berikut :
a.            pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan;
b.            usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang ‑ undangan yang berlaku;
c.             persetujuan  terdakwa  sesudah  dijelaskan  mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;
d.            riwayat sosial terdakwa;
e.             perlindungan keselamatan kerja terdakwa;
f.              keyakinan agama dan politik terdakwa; dan
g.            kemampuan  terdakwa membayar denda.
(3)        Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan.
(4)        Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama:
a.            Dua  ratus  empat puluh jam bagi terdakwa yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas;  dan
b.            Seratus  dua puluh jam bagi terdakwa yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
(5)        Pidana            kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling singkat 7 (tujuh) jam.
(6)        Pelaksanaan pidana  kerja  sosial  dapat  diangsur dalam waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/atau kegiatan lain yang bermanfaat.
(7)        Jika terpidana tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah, maka  terpidana diperintahkan:
            a.         mengulangi  seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut;
b.         menjalani seluruh  atau  sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau
c.         membayar  seluruh   atau  sebagian  pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai peng­ganti denda yang tidak dibayar.
Paragraf 11
Pidana Mati
Pasal 87
Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
Pasal 88
(1)        Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak.
(2)        Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.
(3)        Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
(4)        Pidana mati  baru  dapat  dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.
Pasal 89
(1)        Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika:
            a.         reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
            b.         terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
            c.          kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan
            d.         ada alasan yang meringankan.
(2)        Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
 (3)       Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam  ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang  terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Pasal 90
Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena  terpidana  melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.
Paragraf 12
Pidana Tambahan
Pasal 91
 (1)       Hak‑hak terpidana yang dapat dicabut adalah :
            a.         hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
            b.         hak  menjadi  anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
            c.          hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan peraturan perundang‑undangan yang berlaku;
            d.         hak  menjadi  penasihat  hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan;
            e.          hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri;
            f.          hak  menjalankan  kekuasaan  bapak, menjalankan perwalian atau pengampu atas anaknya sendiri; dan/atau 
            g.         hak menjalankan profesi tertentu.
(2)        Jika  terpidana  adalah korporasi, maka hak yang dicabut adalah segala hak yang diperoleh korporasi.
Pasal 92
Kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) butir a dan  butir b, hanya dapat dilakukan jika pembuat dipidana karena:
a.         melakukan tindak pidana jabatan atau tindak pidana yang melanggar kewajiban khusus suatu jabatan; atau
b.         menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepada terpidana karena jabatannya.
Pasal 93
Kekuasaan bapak, wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu pengawas, baik atas anaknya sendiri maupun atas anak orang lain dapat dicabut jika yang bersangkutan dipidana karena:
a.         dengan  sengaja  melakukan  tindak pidana bersama‑sama dengan  anak yang belum cukup umur yang berada dalam  kekuasaannya; atau
b.         melakukan  tindak  pidana terhadap anak yang belum cukup umur yang berada dalam kekuasaannya sebagaimana dimaksud dalam Buku Kedua.
Pasal 94
(1)        Jika pidana pencabutan hak dijatuhkan, maka wajib ditentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:
            a.         dalam  hal dijatuhkan pidana  mati atau pidana seumur hidup, pencabutan hak untuk selamanya;
            b.         dalam hal dijatuhkan pidana penjara, pidana tutupan, atau  pidana pengawasan untuk waktu tertentu, pencabutan hak paling singkat  2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun lebih lama dari pidana pokok yang dijatuhkan;
            c.          dalam hal pidana denda, pencabutan hak paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
(2)        Jika pidana  pencabutan hak  dijatuhkan pada korpora­si, maka hakim bebas dalam menentukan lama pencabutan hak tersebut.
(3)        Pidana pencabutan hak mulai berlaku pada tanggal putusan hakim dapat dilaksanakan.
Pasal 95
(1)        Pidana perampasan barang dan/atau tagihan tertentu dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok jika ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang bersangkutan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun.
(2)        Pidana perampasan barang tertentu dan/atau tagihan dapat juga dijatuhkan jika terpidana hanya dikenakan tindakan.
(3)        Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu.

Pasal 96

Barang yang dapat dirampas adalah :
a.         barang dan/atau tagihan milik terpidana atau orang lain yang diperoleh dari tindak pidana;
b.         barang  yang ada hubungan dengan terwujudnya tindak pidana;
c.         barang yang dipergunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak pidana;
d.         barang yang dipergunakan untuk menghalang‑halangi penyidikan tindak pidana; dan/atau
e.         barang yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk mewujudkan tindak pidana.
Pasal 97
(1)        Pidana perampasan dapat dijatuhkan atas barang yang tidak disita, dengan menentukan apakah barang tersebut harus diserahkan atau diganti dengan sejumlah uang menurut penafsiran hakim.
(2)        Jika barang yang disita tidak dapat diserahkan, maka dapat diganti dengan sejumlah uang menurut taksiran hakim sebagai menetapkan harga lawannya.
(3)        Jika terpidana tidak mampu membayar seluruh atau sebagian harga lawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.
Pasal 98
(1)        Jika dalam putusan hakim diperintahkan supaya putusan diumumkan, maka harus ditetapkan cara melaksanakan pengumuman tersebut dengan biaya yang ditanggung oleh terpidana.
(2)        Jika biaya pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak  dibayar oleh terpidana, maka berlaku keten­tuan pidana penjara pengganti untuk pidana denda.
Pasal 99
(1)        Dalam putusan hakim dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli warisnya.
(1)         Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti untuk pidana denda.
Pasal 100
(1)        Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.
(2)        Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagai­mana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3).
(3)        Kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda Kategori I dan dapat dikenakan  pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana.
(4)        Pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat juga berupa pidana ganti kerugian.
Bagian Ketiga
Tindakan
Pasal 101
 (1)       Setiap  orang yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimak­sud da­lam Pasal 40 dan Pasal 41, dapat dikenakan tindakan berupa :
            a.         perawatan di rumah sakit jiwa;
            b.         penyerahan kepada pemerintah; atau
            c.         penyerahan kepada seseorang.
(2)        Tindakan yang dapat dikenakan bersama‑sama dengan pidana pokok berupa:
            a.         pencabutan surat izin mengemudi;
            b.         perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
            c.         perbaikan akibat tindak pidana;
            d.         latihan kerja;
            e.         rehabilitasi; dan/atau
            f.          perawatan di lembaga.
Pasal 102
Dalam menjatuhkan putusan yang berupa pengenaan tindakan, wajib diperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55.
Pasal 103
(1)        Putusan tindakan berupa perawatan  di rumah sakit jiwa dijatuhkan setelah  pembuat tindak pidana dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan yang bersangkutan masih dianggap berbahaya berdasarkan surat keterangan dari dokter ahli.
(2)        Pembebasan dari tindakan perawatan di rumah sakit jiwa dikenakan, jika yang bersangkutan dianggap tidak berbahaya lagi dan tidak memerlukan perawatan lebih  lanjut berdasarkan surat keterangan dari dokter ahli.

 

Pasal 104

(1)        Tindakan penyerahan  kepada  pemerintah, bagi orang dewasa dilakukan demi kepentingan masyarakat.
(2)        Dalam putusan hakim ditentukan tempat dan bagaimana tindakan harus dijalankan.
Pasal 105
(1)        Tindakan berupa penyerahan  kepada   seseorang, dapat dikenakan  kepada pembuat tindak pidana dewasa.
(2)        Tindakan penyerahan  kepada seseorang, bagi orang dewasa dilaku­kan demi kepentingan masyarakat.
(3)        Dalam putusan hakim ditentukan tempat dan bagaimana tindakan harus dijalankan.
Pasal 106
(1)        Tindakan berupa pencabutan surat izin mengemudi dikenakan setelah mempertimbangkan:
            a.         keadaan yang menyertai tindak pidana yang dilakukan;
            b.         keadaan yang menyertai pembuat tindak pidana; atau
            c.          kaitan pemilikan surat izin mengemudi dengan usaha mencari nafkah.
(2)        Jika  surat izin mengemudi dikeluarkan oleh  negara lain, maka pencabutan surat izin mengemudi dapat diganti dengan larangan menggunakan surat izin tersebut di wilayah negara Republik Indonesia.
(3)        Jangka waktu  pencabutan  surat  izin  mengemudi berlaku  antara  1 (satu) tahun sampai 5 (lima) tahun.
Pasal 107
(1)        Tindakan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dapat berupa uang, barang, atau keuntungan lain.
(2)        Jika hasil keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berupa uang, maka pembuat tindak pidana dapat mengganti dengan sejumlah uang yang ditentukan oleh hakim.
Pasal 108
Tindakan berupa perbaikan akibat tindak pidana dapat berupa perbaikan, penggantian, atau pembayaran harga taksiran kerusakan sebagai akibat tindak pidana tersebut.
Pasal 109
(1)        Dalam mengenakan tindakan berupa latihan kerja, wajib dipertimbangkan:
            a.         kemanfaatan bagi pembuat tindak pidana;
            b.         kemampuan pembuat tindak pidana; dan
            c.         jenis latihan kerja.
(2)        Dalam menentukan jenis latihan  kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, wajib diper­hatikan latihan kerja atau pengalaman kerja yang pernah dilakukan, dan tempat tinggal pembuat tindak pidana.
Pasal 110
(1)        Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang:
            a.         kecanduan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau
            b.         mengidap kelainan seksual atau yang mengidap kelainan jiwa.
(2)        Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi medis atau sosial, baik milik pemerintah maupun swasta.
Pasal 111
Tindakan perawatan di lembaga harus  didasarkan atas sifat berbahayanya pembuat tindak pidana yang melakukan tindak pidana tersebut sebagai suatu kebiasaan.
Pasal 112
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan jenis‑jenis tindakan sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 88 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pidana dan Tindakan bagi Anak
Pasal 113
(1)        Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.        
(2)        Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 (dua belas) tahun dan 18 (delapan belas) tahun yang melakukan tindak pidana.
Pasal 114
(1)           Dengan  memperhatikan  ketentuan   mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55, demi  kepentingan   masa depan anak, pemeriksaan di depan pengadilan dapat ditunda atau dihentikan setelah mendengar pertimbangan penyidik, penuntut umum, dan Petugas Kemasyarakatan.
(2)           Penundaan atau penghentian pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan syarat :
            a.         anak tidak akan melakukan tindak pidana; dan/atau
            b.         anak dalam waktu tertentu harus  mengganti semua atau sebagian kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan­nya.
Pasal 115
Ketentuan mengenai pemberatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dan Pasal 135, tidak berlaku terhadap anak yang melakukan pengulangan tindak pidana.
Pasal 116
 (1)       Pidana pokok bagi anak terdiri atas:
            a.         Pidana verbal :
                        1.         pidana peringatan; atau
                        2.         pidana teguran keras;
            b.         Pidana dengan syarat:
                        1.         pidana pembinaan di luar lembaga;
                        2.         pidana kerja sosial; atau   
                        3.         pidana pengawasan;
            c.         Pidana denda; atau
            d.         Pidana pembatasan kebebasan:
                        1.         pidana pembinaan di dalam lembaga;
                        2.         pidana penjara; atau
                        3.         pidana tutupan.
(2)        Pidana tambahan terdiri atas:
            a.         perampasan barang‑barang tertentu dan/atau tagihan;
            b.         pembayaran ganti kerugian; atau
            c.         pemenuhan kewajiban adat.
Pasal 117
Pidana verbal merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pambatasan kebebasan anak.
Pasal 118
(1)        Pidana dengan syarat merupakan pidana yang penerapannya dikaitkan dengan syarat‑syarat khusus yang diten­tukan dalam putusan.
(2)        Syarat‑syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan berpo­litik.
Pasal 119
(1)        Pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa keharusan:         
            a.         mengikuti program bimbingan  dan  penyuluhan  yang dilakukan oleh  pejabat pembina;
            b.         mengikuti terapi di Rumah Sakit Jiwa; atau 
            c.          mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
(2)        Jika  selama  pembinaan, anak melanggar syarat‑syarat  khusus seba­gai­mana dimaksud dalam Pasal 118, maka pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim  pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum dilaksanakan.
Pasal 120
(1)        Pelaksanaan pidana kerja sosial untuk anak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal 86 ayat (3) dan ayat (4) dengan memperhatikan usia layak kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)        Jika anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban dalam menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah, maka pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memerintahkan anak tersebut mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial yang dikenakan terhadapnya.
(3)        Pidana kerja sosial untuk anak dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam.
Pasal 121
Ketentuan mengenai pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79 berlaku juga terhadap pidana pengawasan anak.
Pasal 122
Ketentuan mengenai pidana denda sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal 80 dan Pasal 81 berlaku juga bagi anak, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Bagian Keempat ini.
Pasal 123
(1)      Pidana  denda  bagi  anak hanya dapat dijatuhkan terhadap anak yang telah berumur 16 (enam belas) tahun.
(2)      Pidana  denda  yang  dijatuhkan  terhadap anak, paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum pidana denda yang diancamkan terhadap orang dewasa.
(3)      Minimum khusus pidana denda tidak berlaku terhadap anak.
Pasal 124
(1)        Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal anak melaku­kan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan keke­rasan.
(2)        Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum pidana penjara yang diancam­kan terhadap orang dewasa.
(3)        Minimum khusus pidana penjara sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) tidak berlaku terhadap anak.
(4)        Ketentuan  mengenai pidana penjara sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1), ayat (3), ayat (4), Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, dan Pasal 75   berlaku juga sepanjang dapat diberlakukan terha­dap pidana pembatasan kebebasan  terhadap anak.
Pasal 125
(1)        Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat latihan kerja atau lembaga pembinaan yang diseleng­garakan baik oleh pemerintah maupun swasta.
(2)        Jika keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masya­rakat, maka dikenakan pidana pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak.
(3)        Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dilaksanakan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
(4)        Setelah anak menjalani 1/2 (satu per dua) dari lamanya pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan berkelakuan baik, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

 

Pasal 126

(1)          Pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.
(2)          Pidana  penjara  bagi anak dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Anak.
(3)          Jika  tindak  pidana  yang  dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 127
Ketentuan mengenai pidana tutupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 berlaku juga terhadap anak.
 Pasal  128
Ketentuan mengenai pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98 dan Pasal 99 berlaku juga sepanjang ketentuan tersebut dapat diber­lakukan terhadap anak.
Pasal 129
(1)        Setiap anak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 dapat dikenakan tindakan:
            a.         perawatan di rumah sakit jiwa;
            b.         penyerahan kepada pemerintah; atau
            c.         penyerahan kepada seseorang.
(2)        Tindakan yang dapat dikenakan  terhadap anak tanpa menja­tuhkan pidana pokok adalah:
            a.         pengembalian kepada orang tua, wali, atau pengasuhnya;
            b.         penyerahan kepada Pemerintah;
            c.         penyerahan kepada seseorang;
            d.         keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
            e.         pencabutan surat izin mengemudi;
            f.          perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
            g.         perbaikan akibat tindak pidana;
            h.         rehabilitasi; dan/atau
            i.          perawatan di lembaga.
Pasal 130
(1)        Tindakan penyerahan kepada seseorang, bagi anak dilakukan demi kepentingan anak yang  bersangkutan.
(2)        Tindakan perawatan terhadap anak  yang melakukan tindak pidana di­mak­sudkan untuk membantu orang tua dalam mendidik dan mem­berikan bimbingan kepada anak yang bersangkutan.
Pasal 131
Pelaksanaan ketentuan mengenai pidana anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dan tindakan sebagaimana dimaksud Pasal 129 diatur lebih lanjut dalam Undang-undang.
Bagian Kelima
Faktor-faktor yang Memperingan dan Memperberat Pidana
Pasal 132
Faktor-faktor yang memperingan pidana meliputi :
a.         percobaan  melakukan tindak pidana;
b.         pembantuan terjadinya tindak pidana;
c.         penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah  melakukan  tindak pidana ;
d.         tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil;
e.         pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan;  
f.          tindak pidana yang dilakukan  karena  kegoncangan jiwa yang  sangat hebat;
g.         tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimak­sud dalam Pasal 39; atau
h.         faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 133
(1)           Peringanan pidana adalah pengurangan 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana maksimum maupun minimum khusus untuk tindak pidana tertentu.
(2)           Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan penjara seumur hidup, maksimum pidananya penjara 15 (lima belas) tahun.
(3)           Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan jenis pidana dari yang lebih berat ke jenis pidana yang lebih ringan.
Pasal 134
Faktor-faktor yang memperberat pidana meliputi :
a.         pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan,  kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan;
b.         penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana;
c.         penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan  tindak pidana;
d.         tindak pidana yang dilakukan orang dewasa bersama-sama dengan anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun;
e.         tindak  pidana  yang dilakukan secara bersekutu, bersama‑sama,  dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana;
f.          tindak pidana yang dilakukan pada waktu  terjadi huru hara atau bencana alam;
g.         tindak  pidana yang  dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya;
h.         pengulangan tindak pidana; atau
i.          faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 135
Pemberatan pidana adalah penambahan 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana.
Pasal 136
(1)        Jika dalam suatu perkara terdapat faktor-faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama‑sama, maka maksimum ancaman pidana diperberat lebih dahulu, kemudian hasil pemberatan tersebut dikurangi 1/3 (satu per tiga).
(2)        Berdasarkan pertimbangan tertentu, hakim dapat tidak menerapkan ketentuan mengenai peringanan dan pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Keenam
Perbarengan
Pasal 137
(1)        Jika suatu perbuatan memenuhi lebih dari satu ketentuan pidana yang diancam dengan ancaman pidana yang sama maka hanya dijatuhkan satu pidana.
(2)        Jika suatu perbuatan diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus, maka hanya dikenakan aturan pidana khusus.
Pasal 138
(1)        Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang saling berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut dan diancam dengan ancaman pidana yang sama, maka hanya dijatuhkan satu pidana.
(2)        Jika tindak pidana perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan pidana yang berbeda, maka hanya dijatuhkan pidana pokok yang terberat.
(3)        Ketentuan mengenai penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tindak pidana memalsu atau merusak mata uang dan menggunakan uang palsu atau uang yang dirusak tersebut.
Pasal 139
(1)        Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang harus dipandang sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan satu pidana.
(2)        Maksimum pidana untuk tindak pidana perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah maksimum pidana yang diancamkan pada tindak pidana tersebut tetapi tidak melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah 1/3 (satu per tiga).
Pasal 140
(1)        Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang harus dipandang sebagai tindak pidana yang  berdiri sendiri dan diancam  dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka pidana dijatuhkan adalah semua jenis pidana untuk masing-masing tindak pidana, tetapi tidak melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2)        Perhitungan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada lamanya maksimum pidana penjara pengganti denda.
(3)        Apabila tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana minimum, maka minimum pidana untuk perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah pidana minimum khusus untuk masing-masing tindak pidana, tetapi tidak melebihi pidana minimum khusus terberat ditambah 1/3 (satu per tiga).
Pasal 141
Jika dalam perbarengan tindak pidana dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka tidak boleh dijatuhi pidana lain, kecuali pidana tambahan, yakni :
a.         pencabutan hak tertentu;
b.         perampasan barang tertentu; dan/atau
c.         pengumuman putusan hakim.
Pasal 142
(1)        Jika terjadi perbarengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan  Pasal  140,  maka  penjatuhan  pidana  tambahan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
            a.         pidana-pidana  pencabutan  hak yang sama dijadikan satu, dengan ketentuan :
1)         lamanya paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, lebih daripada pidana pokok yang diancamkan atau yang dijatuhkan;
2)         apabila pidana pokok yang diancamkan hanya pidana denda, lamanya paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun. 
b.         pidana-pidana pencabutan hak yang berlainan, dijatuhkan sendiri-sendiri untuk tiap tindak pidana tanpa dikurangi.
c.         pidana-pidana perampasan barang tertentu atau pidana pengganti dijatuhkan sendiri-sendiri untuk tiap tindak pidana tanpa dikurangi.
(2)        Lamanya pidana penjara pengganti atau pidana pengawasan pengganti tidak boleh lebih dari 1 (satu) tahun.
Pasal 143
(1)        Perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis, ditentukan menurut urutan jenis pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2), pidana mati harus dipandang sebagai  pidana yang terberat.
(2)        Dalam hal hakim dapat memilih antara beberapa pidana pokok, hanya pidana yang terberat yang  digunakan sebagai dasar perbandingan.
(3)        Perbandingan beratnya pidana  pokok  yang  sejenis,  ditentukan menurut maksimum ancaman pidananya.
(4)        Perbandingan lamanya pidana pokok, baik yang sejenis maupun yang tidak sejenis, ditentukan berdasarkan maksimum ancaman pidananya.
Pasal 144
Jika seseorang setelah dijatuhi pidana, dinyatakan bersalah lagi melakukan tindak pidana lain sebelum putusan pidana itu dijatuhkan, maka pidana yang terdahulu diperhitungkan terhadap pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan perbarengan dalam Bab ini seperti apabila tindak pidana itu diadili secara bersamaan. 
BAB IV
GUGURNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN DAN
PELAKSANAAN PIDANA
Bagian Kesatu
Gugurnya Kewenangan Penuntutan
Pasal 145
Kewenangan penuntutan gugur, jika:
a.            telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap;
b.            terdakwa meninggal dunia;
c.             daluwarsa;
d.            penyelesaian di luar proses;
e.             maksimum denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda  paling banyak  kategori II;
f.              maksimum denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;
g.            Presiden memberi amnesti atau abolisi;
h.            penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan perjanjian;
i.          tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau
j.          pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.
Pasal 146
(1)        Pidana  denda  sebagaimana   dimaksud  dalam Pasal 145 huruf e dan huruf f serta biaya yang telah dikeluarkan jika  penuntutan  telah dimulai, dibayarkan kepada pejabat yang berwenang  dalam tenggang waktu yang telah ditetapkan.
(2)        Jika dijatuhi pidana perampasan, maka barang yang dirampas harus diserahkan atau harus dibayar menurut taksiran pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika barang tersebut sudah tidak  berada dalam kekuasaan terpidana.
(3)        Jika pidana diperberat karena pengulangan, maka pemberatan tersebut tetap berlaku sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan lebih dahulu gugur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)  dan Pasal 145 huruf c dan huruf d.
Pasal 147
Seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam satu perkara yang sama, jika untuk perkara tersebut telah ada putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 148
Apabila putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 berasal dari hakim luar negeri, maka terhadap orang yang melakukan tindak pidana yang sama tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
 a.      putusan beb`s atau lepas dari segala tuntutan hukum;
 b.      telah selesai menjalani pidana, mendapatkan grasi yang membe­baskan terpidana dari kewajiban menjalani pidana, atau pidana tersebut daluwarsa.

Pasal 149

(1)        Kewenangan penuntutan gugur karena daluwarsa:
a.         sesudah  lampau  waktu 1 (satu) tahun untuk tindak pidana  yang dilakukan dengan percetakan;
b.         sesudah  lampau  waktu  2 (dua) tahun untuk tindak pidana  yang  hanya  diancam  dengan  pidana  denda atau semua tindak pidana  yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun;
c.         sesudah  lampau  waktu 6 (enam) tahun untuk tindak pidana  yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun;
d.         sesudah lampau waktu 12 (dua belas) tahun untuk tindak  pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 (tiga) tahun;
e.         sesudah lampau waktu 18 (delapan belas) tahun untuk tindak  pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
(2)        Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak yang belum  berumur 18 (delapan belas) tahun, tenggang waktu gugurnya kewenangan menuntut  karena daluwarsa menjadi 1/3 (satu per tiga).
Pasal 150
Daluwarsa dihitung sejak tanggal sesudah perbuatan dilakukan, kecuali:
a.         tindak pidana  pemalsuan  atau  merusak mata uang, daluwarsa dihitung satu hari berikutnya sejak tanggal setelah orang yang bersang­kutan  menggunakan mata uang palsu atau yang dirusak untuk melakukan pembayaran;
b.         tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 562, Pasal 563, Pasal 567, Pasal 565 dan Pasal 568,  daluwarsa dihitung satu hari berikutnya sejak tanggal setelah korban tindak pidana dilepaskan atau mati sebagai akibat langsung dari tindak pidana tersebut.
Pasal 151
(1)        Tindakan penuntutan menghentikan tenggang waktu daluwarsa.
(2)        Penghentian  tenggang  waktu daluwarsa  sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak tanggal setelah tersangka mengetahui atau diberitahukan mengenai penuntutan terhadap dirinya yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
(3)        Jika  penuntutan dihentikan, maka mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.
Pasal 152
Jika penuntutan dihentikan untuk sementara waktu karena ada sengketa hukum yang harus diputuskan lebih dahulu, maka tenggang waktu daluwarsa penuntutan menjadi tertunda sampai sengketa tersebut mendapatkan putusan.
Bagian Kedua
Gugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana
Pasal 153
Kewenangan pelaksanaan pidana gugur, jika:
a. terpidana meninggal dunia;
b. daluwarsa eksekusi ;
c. terpidana mendapat grasi dan amnesti;
d. rehabilitasi; atau
e.  penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain.
Pasal 154
Jika terpidana meninggal dunia, maka pidana perampasan barang tertentu dan/atau tagihan  yang  telah disita tetap dapat dilaksanakan.
Pasal 155
(1)        Kewenangan pelaksanaan pidana penjara gugur karena daluwarsa,  setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut.
(2)        Tenggang waktu daluwarsa  pelaksanaan  pidana harus melebihi lamanya pidana yang dijatuhkan.
(3)        Pelaksanaan  pidana  mati tidak mempunyai tenggang waktu daluwarsa.
(4)        Jika  pidana  mati diubah  menjadi pidana  penjara seumur hidup atau pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 89 ayat (2),  maka  kewenangan  pelaksanaan  pidana gugur, karena daluwarsa setelah lewat waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut sebagai­mana dimaksud dalam  Pasal 149 ayat (1) huruf e ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut.
Pasal 156
(1)        Tenggang waktu daluwarsa pelaksanaan pidana dihitung sejak tanggal putusan hakim dapat dilaksanakan.
(2)        Jika narapidana melarikan diri sewaktu menjalani pidana, maka tenggang waktu daluwarsa dihitung sejak tanggal narapidana tersebut melarikan diri.
(3)        Jika pembebasan bersyarat terhadap narapidana dicabut, maka tenggang waktu daluwarsa dihitung 1 (satu) hari sejak tanggal pencabutan.
(4)        Tenggang waktu daluwarsa pelaksanaan pidana ditunda selama :
a.         pelaksanaan pidana tersebut ditunda berdasarkan peraturan perundang‑undangan; atau
b.         terpidana dirampas kemerdekaannya meskipun pencabutan kemer­de­kaan tersebut berkaitan dengan putusan pidana lain.
BAB V
PENGERTIAN ISTILAH
Pasal 157
Anak dimaksud pula orang yang di bawah kekuasaan yang sama dengan kekuasaan bapak.
Pasal 158
Anak Kunci adalah alat yang digunakan untuk membuka kunci, termasuk kode rahasia, kunci masuk komputer,  kartu magnetik, atau signal yang telah diprogram yang dapat digunakan untuk membuka sesuatu oleh orang yang diberi hak untuk itu.
           
Pasal 159
Anak kunci  palsu  adalah alat yang digunakan  untuk membuka kunci tetapi yang tidak dibuat untuk maksud tersebut.
Pasal 160
Ancaman  kekerasan  adalah  suatu hal atau keadaan yang menimbulkan  ra­sa takut, cemas, atau khawatir pada orang yang diancam.
           
Pasal 161
Awak kapal adalah orang  tertentu  yang  berada di kapal sebagai perwira atau bawahan.
           
Pasal 162
Awak pesawat  udara adalah  orang  tertentu yang berada dalam pesawat udara sebagai perwira atau bawahan.
           
Pasal 163
Bangunan listrik adalah bangunan yang digunakan  untuk  membangkitkan,  mengalirkan, mengubah, atau  menyerahkan  tenaga listrik, termasuk alat  yang  berhubungan dengan  itu,  yaitu alat penjaga  keselamatan, alat pema­sang, alat pendukung, alat pencegah, atau alat  pemberi peringatan.
Pasal 164
Bapak dimaksud pula orang yang menjalankan kekuasaan yang sama dengan bapak.
Pasal 165
Barang  adalah   benda berwujud termasuk air dan uang giral, dan benda tidak berwujud termasuk aliran listrik, gas, data dan program komputer, jasa termasuk jasa telepon, jasa telekomunikasi, atau jasa komputer.
           
Pasal 166
Benda cagar budaya adalah:
a.   benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh), dan kebudayaan;
b.   benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
           
Pasal 167
Bulan adalah waktu selama 30 (tiga puluh) hari.
           
Pasal 168
Dalam  penerbangan adalah  jangka waktu sejak  saat  semua  pintu  luar  pesawat  udara  ditutup setelah naiknya  penumpang sampai saat pintu dibuka  untuk penurunan  penumpang, atau dalam hal terjadi pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat  penguasa  yang berwenang mengambil alih tanggung jawab atas pesawat udara dan barang yang ada di dalamnya.
           
Pasal 169
Dalam dinas penerbangan adalah jangka waktu sejak saat pesawat udara disiapkan oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu sampai lewat 24 (dua puluh empat) jam sesudah pendaratan.
           
Pasal 170
Data komputer  adalah suatu representasi fakta-fakta, informasi atau konsep-konsep dalam suatu bentuk yang sesuai untuk prosesing di dalam suatu system komputer, termasuk suatu program yang sesuai untuk memungkinkan suatu system komputer untuk melakukan suatu fungsi.
                       
Pasal 171
Hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
           
Pasal 172
Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
           
Pasal 173
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik diantaranya meliputi teks, simbol, gambar, tanda-tanda, isyarat, tulisan, suara, bunyi, dan bentuk-bentuk lainnya yang telah diolah sehingga mempunyai arti.
           
Pasal 174
Jaringan Telepon adalah termasuk jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer.
           
Pasal 175
Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
           
Pasal 176
Kapal Indonesia adalah kapal yang didaftar di Indonesia dan memperoleh surat tanda kebangsaan kapal Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
           
Pasal 177
Kapten pilot adalah orang yang memegang kekuasaan tertinggi dalam pesawat udara atau orang yang menggantikannya.
           
Pasal 178
Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, kemerdekaan, penderitaan fisik, seksual, psikologis, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
Pasal 179
Kekuasaan Bapak mencakup pula kekuasaan kepala keluarga.
           
Pasal 180
Kode akses adalah angka, huruf, simbol lainnya atau kombinasi diantaranya yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer, jaringan komputer, internet, atau media elektronik lainnya.
           
Pasal 181
Komputer adalah alat pemroses data elektronik, magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
           
Pasal 182
Korporasi adalah  kumpulan  terorganisasi  dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum  maupun bukan badan hukum.
           
Pasal 183
Luka  berat  adalah :
a.         sakit atau luka yang tidak ada harapan untuk sembuh  dengan  sempurna atau yang dapat menimbulkan bahaya maut;
b.         terus-menerus tidak cakap lagi melakukan tugas, jabatan, atau pekerjaan;
c.         tidak  dapat  menggunakan  lagi salah satu panca indera atau salah satu anggota tubuh;
d.         cacat berat (kudung);
e.         lumpuh;
f.          daya  pikir  terganggu selama lebih dari 4 (empat) minggu; atau
g.         gugur atau matinya kandungan.
           
Pasal 184
Makar  adalah  niat  untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwu­judkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.
           
Pasal 185
Malam  adalah  waktu di antara matahari terbenam dan matahari terbit.
           
Pasal 186
Masuk adalah termasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem komputer.
           
Pasal 187
Memanjat adalah termasuk masuk dengan melalui lobang yang sudah ada tetapi tidak untuk tempat orang lewat, atau masuk melalui lobang dalam tanah yang sengaja digali, atau masuk melalui atau menyeberangi selokan  atau parit yang gunanya sebagai penutup halaman.
           
Pasal 188
Musuh  adalah   termasuk pemberontak,  negara atau kekuasaan  yang diperkirakan akan menjadi lawan perang.
           
Pasal 189
Nakhoda  adalah  orang  yang  memegang kekuasaan tertinggi di kapal atau orang yang menggantikannya.
           
Pasal 190
(1)        Pegawai negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas negara, atau diserahi tugas lain oleh negara, dan digaji berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
(2)        Pegawai negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a.         Pegawai Negeri Sipil;
b.         Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
c.         Angggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)        Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas :
            a.         Pegawai Negeri Sipil Pusat;
            b.         Pegawai Negeri Sipil Daerah; dan
            c.         Pegawai tidak tetap yang diangkat oleh pejabat yang berwenang.
           
Pasal 191
Orang tua dimaksud pula kepala keluarga.
           
Pasal 192
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
           
Pasal 193
Penggulingan   pemerintahan  adalah meniadakan atau  mengubah susunan pemerintahan dengan  cara  yang tidak sah menurut ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
           
Pasal 194
Pengusaha atau  pedagang  adalah  orang  yang menjalankan perusahaan atau usaha dagang.
Pasal 195
Penumpang  adalah   orang selain nakhoda dan awak kapal yang  berada  di kapal atau orang selain kapten pilot atau awak pesawat udara yang berada dalam pesawat udara.
           
Pasal 196
Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyinpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.
           
Pasal 197
Perang adalah termasuk perang saudara.
           
Pasal 198
Perbuatan adalah termasuk perbuatan yang dilakukan atau perbuatan yang tidak dilakukan yang merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan atau hukum yang berlaku.
           
Pasal 199
Permainan judi adalah:
a.   setiap permainan yang kemungkinan untuk mendapat untung tergantung pada untung‑untungan belaka;
b.   setiap permainan yang kemungkinan untuk mendapatkan untung tersebut bertam­bah besar, karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir;
c.   semua  pertaruhan  tentang hasil perlombaan atau permainan lainnya yang dilakukan oleh setiap orang yang bukan turut berlomba atau turut bermain; atau
d.   pertaruhan lainnya.
           
Pasal 200
Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
           
Pasal 201
Pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara termasuk pesawat ruang angkasa, yang  didaftarkan di Indonesia dan memperoleh surat tanda kebangsaan pesawat udara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk pesawat udara asing yang disewa tanpa  awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.
           
Pasal 202
Pornoaksi adalah perbuatan mengekploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum.
           
Pasal 203
Pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika.
Pasal 204
Ruang adalah termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu.
           
Pasal 205
Setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi.
Pasal 206
Sistem komputer adalah suatu alat atau perlengkapan atau suatu perangkat perlengkapan yang saling berhubungan atau terkait satu sama lain, satu atau lebih yang mengikuti suatu program, melakukan prosesing data secara otomatik.
           
Pasal 207
Surat adalah surat yang tertulis di atas kertas, termasuk juga surat atau data yang tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, atau media penyimpan komputer atau media penyimpan data elektronik lain.
           
Pasal 208
Ternak  adalah hewan  yang  berkuku  satu, hewan  yang memamah biak, atau babi.
.Pasal 209
Tindak pidana mencakup juga permufakatan jahat, persiapan, percobaan, dan pembantuan melakukan tindak pidana, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang‑undangan.
           
Pasal 210
Waktu  perang  adalah  termasuk waktu di mana bahaya perang  mengancam dan/atau  ada perintah  untuk mobilisasi Tentara Nasional Indonesia dan selama keadaan mobilisasi tersebut masih berlangsung.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 211
Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang‑undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut peraturan perundang-undangan tersebut.
18.04 | 0 komentar | Read More

BACA JUGA

DAFTAR LENGKAP ARTIKEL BLOG BAGINDAERY

Ikuti situs Bagindaery

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...