Judul : Tentang Sedih di Victoria Park (Kisah Buruh Migran Indonesia di Hongkong)
Penulis : Fransisca Ria Susanti
Penerbit: Nuansa Cendekia, 2013
Tebal : 228 Halaman
Harga : Rp39.000,-
Tunipah lari dari rumah majikannya pada November 2007 setelah majikan mencoba memukulnya dengan kursi karena ia dianggap lalai menjaga anak majikan. “Saya sampai terkencing-kencing di celana saat majikan ngangkat kursi dan mau dilemparkan ke saya,” kisah Tunipah.
Begitulah salahsatu penggalan kisah Buruh Migran Indonesia di Hong Kong yang ditulis dalam buku ini. Fransisca Ria Susanti menggambarkan kisah sedih salah seorang BMI asal Jawa Timur itu bukan hanya dengan menggabarkan cerita sedihnya, melainkan dengan sebuah ulasan panjang berkarakter jurnalistik.
Dikisahkan, bahwa majikan Tuminah itu sebelumnya tak pernah mengizinkannya mengambil libur mingguan dan gaji standar seperti diamanatkan oleh Aturan Hukum Ketenagakerjaan Hong Kong.
Ia hanya mendapatkan libur dua kali dalam sebulan dan upah HK$2.200/bulan. Padahal ia menandatangani kontrak kerja dengan gaji HK$3.400/bulan pada Oktober 2006.
Bukannya mendapat keadilan, majikannya malah ganti melaporkan Tunipah ke polisi dengan tudingan mencuri perhiasan miliknya dan uang sebesar HK$6.000. Tetapi pada akhirnya, setelah investigasi dilakukan, Tunipah terbukti tidak bersalah.
Sebagai ilustrasi, kisah ini sering kita dapatkan dari berbagai sumber berita. Tetapi dalam sebuah desain buku, kisah-kisah sedih tenaga kerja Indonesia di Hong Kong sebagaimana direkam secara mendalam melalui buku ini jelas memiliki sisi yang lain. Fransisca adalah seorang jurnalis handal di Indonesia. Bekerja lebih 15 tahun sebagai wartawan, selain pernah aktif di organisasi gerakan kiri Indonesia di era orde baru. Berbekal keilmuan jurnalistik yang matang, niat baik untuk menyajikan ulasan bermutu dan juga kekuatan visi pemikiran dalam menilai hasil riset, jadilah buku ini.
Tentang Sedih di Vicktoria Park merupakan sebuah karya jurnalistik bermutu di Indonesia. Hasil investigasi yang begitu luas, gaya penulisan yang bermutu, disertai penyertaan data yang akurat menjadikan kisah-kisah hidup tenaga kerja asal Indonesia di Hongkong begitu menghentakkan mata hati kita semua. Fransisca jeli memahami angle pada setiap penulisan sehingga setiap kisah seseorang yang dijadikan sample merupakan bagian dari sifat keumuman yang dialami banyak tenaga kerja asal Indonesia dari tahun ke tahun yang bekerja di Hong Kong.
Merangkum banyak hal tentang kehidupan mereka bukan hal yang mudah karena pada faktanya kehidupan mereka dalam situasi kompleks, serumit nasib hidup mereka sebelumnya di kampung halaman. Anak-anak desa dari kampung-kampung pedalaman yang kemudian hidup, maaf menjadi babu, di metropolitan bukan hanya menciptakan suasana hidup baru, melainkan juga menimbulkan persoalan pada gaya hidup mereka.
Bukan hanya soal gaya konsumerisme saja, melainkan sampai masalah seksualitas di mana dikisahkan banyak wanita-wanita pekerja asal Indonesia yang harus menjadi lesbian sampai sering terjadi perkawinan sejenis secara terbuka.
Banyak sanjungan dalam buku ini tentu bukan suatu basa-basi karena para pemberi komentar dalam buku ini, seperti Linda Christanty, Arie Sujito, Wahyu Susilo, Trias Kuncahyo mengenal betul karakter kematangan sang penulis.
Singkat kata buku ini bukan saja mampu merekam fakta hidup dan kehidupan tenaga kerja Indonesia di Hongkong, melainkan juga memberikan contoh kebaikan dalam bidang jurnalistik kepada kita agar dalam menghasilkan penulisan mesti serius, mendalam dan rapi sehingga sebuah karya memiliki nilai bagi kita semua. Ingin menulis tentang realitas hidup secara baik? Perlu baca buku ini.
Peresensi: Andi Eko Jati
Peminat buku kajian sosial. Tinggal di Yogyakarta.
Judul : Tentang Sedih di Victoria Park (Kisah Buruh Migran Indonesia di Hongkong)
Penulis : Fransisca Ria Susanti
Penerbit: Nuansa Cendekia, 2013
Tebal : 228 Halaman
Harga : Rp39.000,-
Tunipah lari dari rumah majikannya pada November 2007 setelah
majikan mencoba memukulnya dengan kursi karena ia dianggap lalai menjaga
anak majikan. “Saya sampai terkencing-kencing di celana saat majikan
ngangkat kursi dan mau dilemparkan ke saya,” kisah Tunipah.
Begitulah
salahsatu penggalan kisah Buruh Migran Indonesia di Hong Kong yang
ditulis dalam buku ini. Fransisca Ria Susanti menggambarkan kisah sedih
salah seorang BMI asal Jawa Timur itu bukan hanya dengan menggabarkan
cerita sedihnya, melainkan dengan sebuah ulasan panjang berkarakter
jurnalistik.
Dikisahkan, bahwa majikan Tuminah itu sebelumnya
tak pernah mengizinkannya mengambil libur mingguan dan gaji standar
seperti diamanatkan oleh Aturan Hukum Ketenagakerjaan Hong Kong.
Ia
hanya mendapatkan libur dua kali dalam sebulan dan upah HK$2.200/bulan.
Padahal ia menandatangani kontrak kerja dengan gaji HK$3.400/bulan pada
Oktober 2006.
Bukannya mendapat keadilan, majikannya malah
ganti melaporkan Tunipah ke polisi dengan tudingan mencuri perhiasan
miliknya dan uang sebesar HK$6.000. Tetapi pada akhirnya, setelah
investigasi dilakukan, Tunipah terbukti tidak bersalah.
Sebagai
ilustrasi, kisah ini sering kita dapatkan dari berbagai sumber berita.
Tetapi dalam sebuah desain buku, kisah-kisah sedih tenaga kerja
Indonesia di Hong Kong sebagaimana direkam secara mendalam melalui buku
ini jelas memiliki sisi yang lain. Fransisca adalah seorang jurnalis
handal di Indonesia. Bekerja lebih 15 tahun sebagai wartawan, selain
pernah aktif di organisasi gerakan kiri Indonesia di era orde baru.
Berbekal keilmuan jurnalistik yang matang, niat baik untuk menyajikan
ulasan bermutu dan juga kekuatan visi pemikiran dalam menilai hasil
riset, jadilah buku ini.
Tentang Sedih di Vicktoria Park
merupakan sebuah karya jurnalistik bermutu di Indonesia. Hasil
investigasi yang begitu luas, gaya penulisan yang bermutu, disertai
penyertaan data yang akurat menjadikan kisah-kisah hidup tenaga kerja
asal Indonesia di Hongkong begitu menghentakkan mata hati kita semua.
Fransisca jeli memahami angle pada setiap penulisan sehingga setiap
kisah seseorang yang dijadikan sample merupakan bagian dari sifat
keumuman yang dialami banyak tenaga kerja asal Indonesia dari tahun ke
tahun yang bekerja di Hong Kong.
Merangkum banyak hal tentang
kehidupan mereka bukan hal yang mudah karena pada faktanya kehidupan
mereka dalam situasi kompleks, serumit nasib hidup mereka sebelumnya di
kampung halaman. Anak-anak desa dari kampung-kampung pedalaman yang
kemudian hidup, maaf menjadi babu, di metropolitan bukan hanya
menciptakan suasana hidup baru, melainkan juga menimbulkan persoalan
pada gaya hidup mereka.
Bukan hanya soal gaya konsumerisme saja,
melainkan sampai masalah seksualitas di mana dikisahkan banyak
wanita-wanita pekerja asal Indonesia yang harus menjadi lesbian sampai
sering terjadi perkawinan sejenis secara terbuka.
Banyak
sanjungan dalam buku ini tentu bukan suatu basa-basi karena para pemberi
komentar dalam buku ini, seperti Linda Christanty, Arie Sujito, Wahyu
Susilo, Trias Kuncahyo mengenal betul karakter kematangan sang penulis.
Singkat
kata buku ini bukan saja mampu merekam fakta hidup dan kehidupan tenaga
kerja Indonesia di Hongkong, melainkan juga memberikan contoh kebaikan
dalam bidang jurnalistik kepada kita agar dalam menghasilkan penulisan
mesti serius, mendalam dan rapi sehingga sebuah karya memiliki nilai
bagi kita semua. Ingin menulis tentang realitas hidup secara baik? Perlu
baca buku ini.
Peresensi: Andi Eko Jati
Peminat buku kajian sosial. Tinggal di Yogyakarta. - See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/11/11/285/894887/ungkap-fakta-buruh-migran#sthash.1XW7wCeB.dpuf
Judul : Tentang Sedih di Victoria Park (Kisah Buruh Migran Indonesia di Hongkong)
Penulis : Fransisca Ria Susanti
Penerbit: Nuansa Cendekia, 2013
Tebal : 228 Halaman
Harga : Rp39.000,-
Tunipah lari dari rumah majikannya pada November 2007 setelah
majikan mencoba memukulnya dengan kursi karena ia dianggap lalai menjaga
anak majikan. “Saya sampai terkencing-kencing di celana saat majikan
ngangkat kursi dan mau dilemparkan ke saya,” kisah Tunipah.
Begitulah
salahsatu penggalan kisah Buruh Migran Indonesia di Hong Kong yang
ditulis dalam buku ini. Fransisca Ria Susanti menggambarkan kisah sedih
salah seorang BMI asal Jawa Timur itu bukan hanya dengan menggabarkan
cerita sedihnya, melainkan dengan sebuah ulasan panjang berkarakter
jurnalistik.
Dikisahkan, bahwa majikan Tuminah itu sebelumnya
tak pernah mengizinkannya mengambil libur mingguan dan gaji standar
seperti diamanatkan oleh Aturan Hukum Ketenagakerjaan Hong Kong.
Ia
hanya mendapatkan libur dua kali dalam sebulan dan upah HK$2.200/bulan.
Padahal ia menandatangani kontrak kerja dengan gaji HK$3.400/bulan pada
Oktober 2006.
Bukannya mendapat keadilan, majikannya malah
ganti melaporkan Tunipah ke polisi dengan tudingan mencuri perhiasan
miliknya dan uang sebesar HK$6.000. Tetapi pada akhirnya, setelah
investigasi dilakukan, Tunipah terbukti tidak bersalah.
Sebagai
ilustrasi, kisah ini sering kita dapatkan dari berbagai sumber berita.
Tetapi dalam sebuah desain buku, kisah-kisah sedih tenaga kerja
Indonesia di Hong Kong sebagaimana direkam secara mendalam melalui buku
ini jelas memiliki sisi yang lain. Fransisca adalah seorang jurnalis
handal di Indonesia. Bekerja lebih 15 tahun sebagai wartawan, selain
pernah aktif di organisasi gerakan kiri Indonesia di era orde baru.
Berbekal keilmuan jurnalistik yang matang, niat baik untuk menyajikan
ulasan bermutu dan juga kekuatan visi pemikiran dalam menilai hasil
riset, jadilah buku ini.
Tentang Sedih di Vicktoria Park
merupakan sebuah karya jurnalistik bermutu di Indonesia. Hasil
investigasi yang begitu luas, gaya penulisan yang bermutu, disertai
penyertaan data yang akurat menjadikan kisah-kisah hidup tenaga kerja
asal Indonesia di Hongkong begitu menghentakkan mata hati kita semua.
Fransisca jeli memahami angle pada setiap penulisan sehingga setiap
kisah seseorang yang dijadikan sample merupakan bagian dari sifat
keumuman yang dialami banyak tenaga kerja asal Indonesia dari tahun ke
tahun yang bekerja di Hong Kong.
Merangkum banyak hal tentang
kehidupan mereka bukan hal yang mudah karena pada faktanya kehidupan
mereka dalam situasi kompleks, serumit nasib hidup mereka sebelumnya di
kampung halaman. Anak-anak desa dari kampung-kampung pedalaman yang
kemudian hidup, maaf menjadi babu, di metropolitan bukan hanya
menciptakan suasana hidup baru, melainkan juga menimbulkan persoalan
pada gaya hidup mereka.
Bukan hanya soal gaya konsumerisme saja,
melainkan sampai masalah seksualitas di mana dikisahkan banyak
wanita-wanita pekerja asal Indonesia yang harus menjadi lesbian sampai
sering terjadi perkawinan sejenis secara terbuka.
Banyak
sanjungan dalam buku ini tentu bukan suatu basa-basi karena para pemberi
komentar dalam buku ini, seperti Linda Christanty, Arie Sujito, Wahyu
Susilo, Trias Kuncahyo mengenal betul karakter kematangan sang penulis.
Singkat
kata buku ini bukan saja mampu merekam fakta hidup dan kehidupan tenaga
kerja Indonesia di Hongkong, melainkan juga memberikan contoh kebaikan
dalam bidang jurnalistik kepada kita agar dalam menghasilkan penulisan
mesti serius, mendalam dan rapi sehingga sebuah karya memiliki nilai
bagi kita semua. Ingin menulis tentang realitas hidup secara baik? Perlu
baca buku ini.
Peresensi: Andi Eko Jati
Peminat buku kajian sosial. Tinggal di Yogyakarta. - See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/11/11/285/894887/ungkap-fakta-buruh-migran#sthash.1XW7wCeB.dpuf
Judul : Tentang Sedih di Victoria Park (Kisah Buruh Migran Indonesia di Hongkong)
Penulis : Fransisca Ria Susanti
Penerbit: Nuansa Cendekia, 2013
Tebal : 228 Halaman
Harga : Rp39.000,-
Tunipah lari dari rumah majikannya pada November 2007 setelah
majikan mencoba memukulnya dengan kursi karena ia dianggap lalai menjaga
anak majikan. “Saya sampai terkencing-kencing di celana saat majikan
ngangkat kursi dan mau dilemparkan ke saya,” kisah Tunipah.
Begitulah
salahsatu penggalan kisah Buruh Migran Indonesia di Hong Kong yang
ditulis dalam buku ini. Fransisca Ria Susanti menggambarkan kisah sedih
salah seorang BMI asal Jawa Timur itu bukan hanya dengan menggabarkan
cerita sedihnya, melainkan dengan sebuah ulasan panjang berkarakter
jurnalistik.
Dikisahkan, bahwa majikan Tuminah itu sebelumnya
tak pernah mengizinkannya mengambil libur mingguan dan gaji standar
seperti diamanatkan oleh Aturan Hukum Ketenagakerjaan Hong Kong.
Ia
hanya mendapatkan libur dua kali dalam sebulan dan upah HK$2.200/bulan.
Padahal ia menandatangani kontrak kerja dengan gaji HK$3.400/bulan pada
Oktober 2006.
Bukannya mendapat keadilan, majikannya malah
ganti melaporkan Tunipah ke polisi dengan tudingan mencuri perhiasan
miliknya dan uang sebesar HK$6.000. Tetapi pada akhirnya, setelah
investigasi dilakukan, Tunipah terbukti tidak bersalah.
Sebagai
ilustrasi, kisah ini sering kita dapatkan dari berbagai sumber berita.
Tetapi dalam sebuah desain buku, kisah-kisah sedih tenaga kerja
Indonesia di Hong Kong sebagaimana direkam secara mendalam melalui buku
ini jelas memiliki sisi yang lain. Fransisca adalah seorang jurnalis
handal di Indonesia. Bekerja lebih 15 tahun sebagai wartawan, selain
pernah aktif di organisasi gerakan kiri Indonesia di era orde baru.
Berbekal keilmuan jurnalistik yang matang, niat baik untuk menyajikan
ulasan bermutu dan juga kekuatan visi pemikiran dalam menilai hasil
riset, jadilah buku ini.
Tentang Sedih di Vicktoria Park
merupakan sebuah karya jurnalistik bermutu di Indonesia. Hasil
investigasi yang begitu luas, gaya penulisan yang bermutu, disertai
penyertaan data yang akurat menjadikan kisah-kisah hidup tenaga kerja
asal Indonesia di Hongkong begitu menghentakkan mata hati kita semua.
Fransisca jeli memahami angle pada setiap penulisan sehingga setiap
kisah seseorang yang dijadikan sample merupakan bagian dari sifat
keumuman yang dialami banyak tenaga kerja asal Indonesia dari tahun ke
tahun yang bekerja di Hong Kong.
Merangkum banyak hal tentang
kehidupan mereka bukan hal yang mudah karena pada faktanya kehidupan
mereka dalam situasi kompleks, serumit nasib hidup mereka sebelumnya di
kampung halaman. Anak-anak desa dari kampung-kampung pedalaman yang
kemudian hidup, maaf menjadi babu, di metropolitan bukan hanya
menciptakan suasana hidup baru, melainkan juga menimbulkan persoalan
pada gaya hidup mereka.
Bukan hanya soal gaya konsumerisme saja,
melainkan sampai masalah seksualitas di mana dikisahkan banyak
wanita-wanita pekerja asal Indonesia yang harus menjadi lesbian sampai
sering terjadi perkawinan sejenis secara terbuka.
Banyak
sanjungan dalam buku ini tentu bukan suatu basa-basi karena para pemberi
komentar dalam buku ini, seperti Linda Christanty, Arie Sujito, Wahyu
Susilo, Trias Kuncahyo mengenal betul karakter kematangan sang penulis.
Singkat
kata buku ini bukan saja mampu merekam fakta hidup dan kehidupan tenaga
kerja Indonesia di Hongkong, melainkan juga memberikan contoh kebaikan
dalam bidang jurnalistik kepada kita agar dalam menghasilkan penulisan
mesti serius, mendalam dan rapi sehingga sebuah karya memiliki nilai
bagi kita semua. Ingin menulis tentang realitas hidup secara baik? Perlu
baca buku ini.
Peresensi: Andi Eko Jati
Peminat buku kajian sosial. Tinggal di Yogyakarta. - See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/11/11/285/894887/ungkap-fakta-buruh-migran#sthash.1XW7wCeB.dpuf
Judul : Tentang Sedih di Victoria Park (Kisah Buruh Migran Indonesia di Hongkong)
Penulis : Fransisca Ria Susanti
Penerbit: Nuansa Cendekia, 2013
Tebal : 228 Halaman
Harga : Rp39.000,-
Tunipah lari dari rumah majikannya pada November 2007 setelah
majikan mencoba memukulnya dengan kursi karena ia dianggap lalai menjaga
anak majikan. “Saya sampai terkencing-kencing di celana saat majikan
ngangkat kursi dan mau dilemparkan ke saya,” kisah Tunipah.
Begitulah
salahsatu penggalan kisah Buruh Migran Indonesia di Hong Kong yang
ditulis dalam buku ini. Fransisca Ria Susanti menggambarkan kisah sedih
salah seorang BMI asal Jawa Timur itu bukan hanya dengan menggabarkan
cerita sedihnya, melainkan dengan sebuah ulasan panjang berkarakter
jurnalistik.
Dikisahkan, bahwa majikan Tuminah itu sebelumnya
tak pernah mengizinkannya mengambil libur mingguan dan gaji standar
seperti diamanatkan oleh Aturan Hukum Ketenagakerjaan Hong Kong.
Ia
hanya mendapatkan libur dua kali dalam sebulan dan upah HK$2.200/bulan.
Padahal ia menandatangani kontrak kerja dengan gaji HK$3.400/bulan pada
Oktober 2006.
Bukannya mendapat keadilan, majikannya malah
ganti melaporkan Tunipah ke polisi dengan tudingan mencuri perhiasan
miliknya dan uang sebesar HK$6.000. Tetapi pada akhirnya, setelah
investigasi dilakukan, Tunipah terbukti tidak bersalah.
Sebagai
ilustrasi, kisah ini sering kita dapatkan dari berbagai sumber berita.
Tetapi dalam sebuah desain buku, kisah-kisah sedih tenaga kerja
Indonesia di Hong Kong sebagaimana direkam secara mendalam melalui buku
ini jelas memiliki sisi yang lain. Fransisca adalah seorang jurnalis
handal di Indonesia. Bekerja lebih 15 tahun sebagai wartawan, selain
pernah aktif di organisasi gerakan kiri Indonesia di era orde baru.
Berbekal keilmuan jurnalistik yang matang, niat baik untuk menyajikan
ulasan bermutu dan juga kekuatan visi pemikiran dalam menilai hasil
riset, jadilah buku ini.
Tentang Sedih di Vicktoria Park
merupakan sebuah karya jurnalistik bermutu di Indonesia. Hasil
investigasi yang begitu luas, gaya penulisan yang bermutu, disertai
penyertaan data yang akurat menjadikan kisah-kisah hidup tenaga kerja
asal Indonesia di Hongkong begitu menghentakkan mata hati kita semua.
Fransisca jeli memahami angle pada setiap penulisan sehingga setiap
kisah seseorang yang dijadikan sample merupakan bagian dari sifat
keumuman yang dialami banyak tenaga kerja asal Indonesia dari tahun ke
tahun yang bekerja di Hong Kong.
Merangkum banyak hal tentang
kehidupan mereka bukan hal yang mudah karena pada faktanya kehidupan
mereka dalam situasi kompleks, serumit nasib hidup mereka sebelumnya di
kampung halaman. Anak-anak desa dari kampung-kampung pedalaman yang
kemudian hidup, maaf menjadi babu, di metropolitan bukan hanya
menciptakan suasana hidup baru, melainkan juga menimbulkan persoalan
pada gaya hidup mereka.
Bukan hanya soal gaya konsumerisme saja,
melainkan sampai masalah seksualitas di mana dikisahkan banyak
wanita-wanita pekerja asal Indonesia yang harus menjadi lesbian sampai
sering terjadi perkawinan sejenis secara terbuka.
Banyak
sanjungan dalam buku ini tentu bukan suatu basa-basi karena para pemberi
komentar dalam buku ini, seperti Linda Christanty, Arie Sujito, Wahyu
Susilo, Trias Kuncahyo mengenal betul karakter kematangan sang penulis.
Singkat
kata buku ini bukan saja mampu merekam fakta hidup dan kehidupan tenaga
kerja Indonesia di Hongkong, melainkan juga memberikan contoh kebaikan
dalam bidang jurnalistik kepada kita agar dalam menghasilkan penulisan
mesti serius, mendalam dan rapi sehingga sebuah karya memiliki nilai
bagi kita semua. Ingin menulis tentang realitas hidup secara baik? Perlu
baca buku ini.
Peresensi: Andi Eko Jati
Peminat buku kajian sosial. Tinggal di Yogyakarta. - See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/11/11/285/894887/ungkap-fakta-buruh-migran#sthash.1XW7wCeB.dpuf